Minggu, 24 Desember 2023

MITIGASI DAN ADAPTASI KEBENCANAAN B#2

 B. Adaptasi untuk Jenis-Jenis Bencana 



Kita sering mendengar keberadaan rumah tahan gempa, rumah anti banjir, dan embung untuk menyiasati kekeringan. Upaya yang dilakukan masyarakat tersebut merupakan respon terhadap kebencanaan yang terjadi sebelumnya. Seperti halnya ketika gempa terjadi, maka banyak bangunan rumah hancur, pohon-pohon tumbang, bahkan tidak ada lagi harta benda yang tersisa. Selanjutnya, manusia berpikir untuk dapat terus bertahan hidup dan tidak mengalami kerugian yang sama, sehingga mereka membangun rumah tahan gempa. 



Adaptasi bencana adalah serangkaian upaya atau cara manusia untuk bertahan hidup (survive) dengan melakukan penyesuaian lingkungan. Pola adaptasi muncul dalam berbagai bentuk yang dapat dilihat ketika manusia mengubah perilakunya sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Hal tersebut juga berarti manusia dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadinya (Huda, 2016). Demikian dengan bentuk adaptasi dari setiap bencana dan kondisi masyarakat yang berbeda menentukan keragaman bentuk adaptasi. 



Adaptasi terhadap bencana perlu dilakukan mengingat kita tinggal di daerah rawan bencana yang akan membahayakan keberlangsungan hidup. Kemampuan beradaptasi ditentukan oleh kapasitas, struktur pengambilan keputusan dalam masyarakat, dan ketersediaan teknologi. Berikut akan diuraikan bentuk-bentuk adaptasi masyarakat terhadap berbagai jenis bencana. 



1. Adaptasi Bencana Alam 



Berikut beberapa adaptasi terkait bencana alam yang ada di Indonesia: 



a. Adaptasi Bencana Gempa Bumi 



Perubahan bentuk dan konstruksi bangunan permukiman masyarakat sesuai dengan syarat dan standar kelayakan hunian di wilayah yang mereka tempati. Perubahan konstruksi rumah sebagai bentuk adaptasi terhadap bencana gempa bumi merupakan wujud strategi adaptasi fisik (Jauhari, 2018). Selain itu, adaptasi masyarakat juga dapat dilakukan dengan membangun aktivitas yang dapat menjaga ketahanan pangan mereka, seperti aktivitas living food bank yaitu menanam tanaman palawija, kelapa, jengkol, rambutan, pisang, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya. Upaya tersebut dimaksudkan apabila suatu saat terjadi gempa, masyarakat tetap mempunyai persediaan pangan. 


Gambar 4.29. Rumah Suku Sasak yang Tahan Gempa 


Sumber: itb.ac.id/ Nur Faiz Ramdhani (2018) 



b. Adaptasi Bencana Tsunami 


Upaya adaptasi dalam menghadapi bencana tsunami diantaranya: 

  1. mengaktifkan partisipasi masyarakat wilayah pesisir yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan terkait bencana gempa yang berpotensi tsunami; 
  2. melakukan pembangunan tembok pemecah gelombang atau breakwater; 
  3. pemasangan papan penunjuk jalur evakuasi, 
  4. rambu-rambu penunjuk keterdapatan arus balik di pantai, 
  5. pembangunan tanggul laut atau seawall, dan 
  6. rambu-rambu penunjuk jalur evakuasi yang memberikan arahan pada pengunjung maupun masyarakat ketika terjadi tsunami. 

Gambar 4.30. Breakwater di Pangandaran 


Sumber: kkp.go.id/AJK (2021)



Program edukasi kepada masyarakat dapat dilakukan dengan sosialisasi secara berkala tentang rawan bencana, desa tangguh bencana, dan kelompok siaga bencana. Partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang fundamental. Masyarakat berperan sejak awal perencanaan, termasuk saat rehabilitasi, dan saat terjadi bencana (Osti, 2004) 



c. Adaptasi Bencana Gunung Meletus 



Masyarakat dapat beradaptasi dengan beberapa upaya. Upaya adaptasi dari bencana gunung meletus diantaranya pembuatan rumah yang kokoh, dinding rumah yang tebal dan atap rumah yang tahan terhadap hujan air dan hujan abu. Masyarakat dapat menggunakan masker dan menggunakan pakaian tebal supaya dapat terhindar dari dinginnya udara pegunungan dan letusan abu vulkanik (Yulisar et al., 2019).


Gambar 4.31. Warga Sekitar Gunung Agung Menggunakan Masker 


Sumber: nasional.tempo.co/REUTERS/Johannes P. Christo (2017) 



d. Adaptasi Bencana Tanah Longsor 



Adaptasi bencana tanah longsor dapat menggunakan konsep Berry John (1980) yaitu adaptation by reaction, adaptation by adjustment dan adaptation by withdrawal. Adaptation by reaction adalah adaptasi yang dilakukan dengan penanaman beberapa pohon di lokasi yang terkena tanah longsor. Adaptation by adjustment, strategi perubahan perilaku masyarakat terhadap lingkungan agar menjadi lebih baik. Selanjutnya adaptation by withdrawal yaitu adaptasi dengan cara keluar dari lingkungan tempat tinggal yang rawan ke tempat yang lebih aman.

Gambar 4.32. Danrem 071 Menanam Pohon di Sekitar Bekas Lokasi Tanah Longsor Banjarnegara 

Sumber: tniad.mil.id (2015) 



e. Adaptasi Bencana Banjir 



Adaptasi yang dilakukan manusia dalam menghadapi bencana banjir meliputi berbagai tindakan perbaikan, rekayasa, ataupun perubahan dalam beberapa aspek kehidupan (Huda, 2016). Terdapat beberapa bentuk adaptasi terhadap banjir. 

  1. Adaptasi aktif adalah strategi optimalisasi sumber daya manusia untuk aktivitas kehidupan sehari-hari dalam menghadapi dinamika lingkungan. Contohnya menjadi tukang ojek perahu, meninggikan pondasi/lantai rumah, membangun rumah menjadi dua lantai, dan meninggikan perlengkapan rumah tangga dengan berbagai teknik tertentu. 
  2. Adaptasi pasif ialah strategi mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan yang sifatnya pasif. Contoh adaptasi pasif terhadap bencana banjir yaitu pengetahuan perkiraan bulan hujan yang berisiko banjir, sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri. Masyarakat petani yang menjadi korban banjir, mereka menerapkan pertimbangan untuk mendahulukan keselamatan (safety first). 
  3. Adaptasi sosial ketika menghadapi bencana banjir diwujudkan dalam bentuk gotong royong dan meningkatkan rasa solidaritas antar warga. Masyarakat saling ikut membagikan makanan, membantu mengevakuasi, membetulkan rumah, membuat posko pengungsian, dapur umum, dan lain-lain. 
  4. Adaptasi Ekonomi. Dalam menghadapi banjir, adaptasi ekonomi masyarakat meliputi bantuan gratis dari lembaga-lembaga sosial seperti bantuan makanan, pakaian, dan sebagainya. Untuk mengurangi kerugian dan kerusakan pada perlengkapan rumah tangga, masyarakat akan menempatkan barang penting pada tempat tinggi supaya tidak tergenang air.
  5. Adaptasi Budaya. Ketika bencana banjir datang masyarakat akan mengadakan tahlilan dan doa Bersama. Sebagian masyarakat masih ada yang melakukan sedekah bumi sebagai bentuk adat istiadat yang dipertahankan sampai sekarang. Selain itu, pembuatan floodway atau sudetan juga mengurangi risiko terjadinya banjir. 


Gambar 4.33. Rumah Pondasi Tinggi Dapat Mencegah Air Banjir Masuk ke Dalam Rumah 


Sumber: newsclick.in (2020) 



Untuk menambah wawasan kalian tentang Adaptasi dan Mitigasi Bencana, silahkan scan kode QR di samping atau klik tautan disini



f. Adaptasi Bencana Rob 



Banjir rob adalah naiknya permukaan laut atau air laut ke daratan yang disebabkan air laut pasang. Terdapat beberapa adaptasi terhadap bencana rob yang dapat dilakukan masyarakat. 



  1. Adaptasi di sekitar tempat tinggal. Adaptasi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain meninggikan lantai rumah dan atapnya, menambah lantai rumah (rumah dua lantai), menguruk tanah untuk meninggikannya, di samping jalan dibangun talud-talud sebagai pencegah air mengalir menuju rumah-rumah, meninggikan barang-barang rumah tangga agar tidak terendam air serta meninggikan pipa distribusi air bersih. 
  2. Adaptasi pada lahan tambak. Dalam menghadapi rob dapat dilakukan dengan meninggikan tanggul tambak dan memasang jaring waring di sekeliling tambak. Tanggul tambak dibuat supaya air dan hewan-hewan dari tambak tidak meluap ke jalan-jalan dan daerah sekitar. 
  3. Adaptasi sosial. Dalam menghadapi rob dapat berupa kegiatan gotong royong seperti bekerja sama dalam peninggian jalan, pembuatan instalasi pompa penyedot rob, serta perbaikan fasilitas umum. 
  4. Adaptasi Ekonomi. Masyarakat dapat beralih mata pencaharian yang awalnya petani tambak dan nelayan, berubah menjadi buruh, pedagang, serta pekerjaan lain di luar lingkungan tempat tinggal mereka untuk mampu beradaptasi. 
  5. Adaptasi budaya. Budaya gotong-royong dan keagamaan harus senantiasa diperkuat dan dipertahankan karena hal tersebut dapat menjadi kekuatan dalam bertahan di lingkungan yang saling membutuhkan untuk bersama sama menghadapi bencana rob (Sutigno & Pigawati, 2015). 


Gambar 4.34. Banjir Rob di Muara Angke, Jakarta 


Sumber: cnnindonesia.com (2021) 



g. Adaptasi Bencana Kekeringan 



Bencana kekeringan berkaitan dengan ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan. Beberapa adaptasi untuk menghadapi bencana kekeringan yang dapat dilakukan masyarakat antara lain: 

  1. meningkatkan daya dukung DAS (Daerah Aliran Sungai) sebagai daerah resapan air; 
  2. membangun, mengelola, dan/atau merehabilitasi bendungan, dam, waduk, dan reservoir kapasitas besar debit musiman (termasuk dengan memanfaatkan teknologi satelit, weather forecasting, dsb); 
  3. mengembangkan teknologi irigasi baru untuk intensifikasi pertanian (spray and drip irrigation) sekaligus untuk penghematan air; dan 
  4. menyelenggarakan program kampanye hemat air (DPU, 2007). 

Gambar 4.35. Rehabilitasi Bendungan Benenain NTT 


Sumber: Kementerian PUPR (2021) 



h. Adaptasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan 



Setiap masyarakat memiliki adaptasi sendiri dalam menghadapi sebuah bencana. 


Adaptasi bencana yang akan diuraikan berikut ini akan mengulas sebuah adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat daerah rawan bencana kebakaran hutan dan lahan yaitu Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti yang terdiri dari 4 jenis adaptasi. Adaptasi masyarakat Desa Sungai Tohor (Zatul, 2021) antara lain: 

  1. Adaptasi fisik, yaitu dengan membuat sekat kanal dan embung di lahan sebagai cadangan menampung air untuk kebun dan saat terjadi kebakaran; 
  2. Adaptasi ekonomi, masyarakat mengerjakan beberapa pekerjaan untuk sumber pendapatan sebagai petani, buruh potong, dan buruh angkut tual sagu; 
  3. Adaptasi struktural, masyarakat mengupayakan berbagai aktivitas ramah lingkungan gambut dan melakukan kerjasama dengan pemerintah dan kelembagaan desa; dan 
  4. Adaptasi kultural, masyarakat menghindari kebiasaan membuka lahan dengan memerun (budaya masyarakat Desa Sungai Tohor).  


Gambar 4.36. Masyarakat Sungai Tohor dalam Menjaga Sekat Kanal 


Sumber: brg.go.id (2019) 


i. Adaptasi Bencana Puting Beliung 


Puting beliung bersifat merusak hingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis. Untuk meminimalisir risiko akibat puting beliung, masyarakat perlu beradaptasi dengan meningkatkan struktur fisik bangunan hunian, meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam menghadapi bencana puting beliung (Hermon, 2018). 

Gambar 4.37. Rumah Anti Angin Puting Beliung Karya TMMD 


Sumber: indiespot.id (2019) 



2. Adaptasi Bencana Non Alam 



Wabah penyakit merupakan fenomena terjadinya persebaran penyakit secara luas dan menulari penduduk. Pada pertengahan sampai akhir abad ke-14 sebuah pandemi hebat pertama kali melanda Eropa dan membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa, wabah tersebut kita kenal dengan sebutan black death. Saat ini, dunia kembali dihadapkan dengan wabah penyakit Covid-19 yaitu sebuah penyakit yang disebabkan oleh kelompok virus yang menginfeksi sistem pernapasan manusia. Pandemi ini tidak hanya menyerang satu wilayah, namun sudah menyebar ke berbagai negara yang jauh dari pusat wabah. 

Gambar 4.38. Grafik Kasus Konfirmasi, Sembuh dan Meninggal COVID-19 di Indonesia 


Sumber: kemkes.go.id (2021) 



Adaptasi kebiasaan baru diterapkan untuk menjaga produktivitas selama masa pandemi dengan menerapkan perilaku pencegahan penularan Covid-19. Beberapa adaptasi masyarakat dalam menghadapi Covid-19 diantaranya: 

  1. selalu menggunakan masker saat keluar rumah; 
  2. hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut jika belum mencuci tangan; 
  3. menjaga jarak 1-2 meter; 
  4. selalu mencuci tangan memakai sabun dengan air mengalir; 
  5. membawa hand sanitizer ketika bepergian; 
  6. konsumsi makanan bergizi untuk tetap menjaga imun tubuh; dan 
  7. rajin berolahraga. Selain wabah penyakit, kegagalan teknologi juga termasuk bencana non alam. 



Kegagalan teknologi ialah peristiwa bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri. Sebagai upaya pengurangan risiko bencana kegagalan teknologi maka beberapa adaptasi yang dapat dilakukan adalah membatasi dan mengurangi kapasitas penampungan bahan kimia yang berbahaya dan mudah terbakar, meningkatkan standar keselamatan pabrik dan desain peralatan, dan membuat prosedur operasi penyelamatan apabila terjadi kecelakaan teknologi. 



Kegagalan modernisasi juga termasuk jenis bencana non alam. Bentuk adaptasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi kegagalan modernisasi diantaranya melakukan pemerataan pembangunan yang berimbang, sehingga daerah tertinggal juga mendapatkan akses dan fasilitas yang sama dengan daerah yang sudah maju (perkotaan). 

Gambar 4.39. Mencuci Tangan adalah Salah Satu Upaya yang Dilakukan di Masa Pandemi Covid-19 



3. Adaptasi Bencana Sosial



Adaptasi yang dapat dilakukan masyarakat ketika menghadapi bencana sosial diantaranya memperkuat budaya gotong royong, memperkuat rasa nasionalisme, dan mengaktifkan peran orang tua serta lembaga Pendidikan. Hal ini menjadi salah satu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal dan mencegah warga menjadi pelaku tindakan kriminal. Masyarakat tetap menjaga kelangsungan nilai norma melalui pendidikan multikultural seperti sekolah, kegiatan pengajian, serta organisasi yang ada di lingkungan masyarakat. 

Gambar 4.40. Gotong Royong Masyarakat Pindahkan Rumah Panggung 


Sumber: tirto.id/antarafoto/Abriawan Abhe (2016)


MITIGASI DAN ADAPTASI KEBENCANAAN B#1

 II. Pengertian dan Langkah Mitigasi Bencana 


Ancaman bencana di negara kita sangat tinggi dan beragam. Kegiatan untuk mengurangi risiko bencana berdampak pada sedikitnya kerugian yang ditimbulkan. Hal ini pernah terjadi di desa-desa adat Lombok ketika terjadi gempa bumi tahun 2018. Desa adat sudah memiliki sistem mitigasi khusus, sehingga dampak kerugiannya lebih sedikit dibandingkan daerah perkotaan. 



Mitigasi bencana merupakan serangkaian kegiatan (upaya, strategi, kebijakan, dan kegiatan lainnya) untuk mengurangi risiko bencana. Proses mitigasi dapat dilakukan dengan kegiatan penyuluhan, pembangunan fisik (sarana dan prasarana), dan peningkatan kemampuan (kapasitas) masyarakat menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi bencana mencakup berbagai bidang, khususnya ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik. 



Tujuan mitigasi bencana terdiri dari beberapa hal. Pertama, dampak kerugian dapat dikurangi, seperti kerugian nyawa, kerusakan lingkungan, hingga korban jiwa. Kedua, pengetahuan tentang kondisi sebelum bencana, saat, dan pasca bencana dapat meningkat sehingga masyarakat dapat bekerja dan hidup dengan aman. Ketiga, perancangan dan penyusunan kegiatan mitigasi bencana dapat dijadikan acuan untuk menyusun kebijakan pembangunan wilayah. 



Mitigasi bencana dibagi menjadi mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural dilakukan melalui upaya pembangunan fisik maupun pembangunan prasarana masyarakat dalam hal pengurangan risiko bencana. Pembangunan juga dapat melalui pengembangan teknologi (Wulan, 2016). Mitigasi non struktural dilakukan dalam upaya penyadaran masyarakat atau memberikan pendidikan dalam mengurangi risiko bencana. 


Selain klasifikasi bentuk mitigasi diatas, mitigasi bencana dibagi menjadi lima berdasarkan kearifan lokal. Bentuk mitigasi tersebut yaitu dimensi pengetahuan, nilai, mekanisme pengambilan keputusan, solidaritas kelompok, dan mekanik (Wahyuningtyas et al., 2019). Namun kelima bentuk mitigasi tersebut juga dapat dikategorikan dalam dua bentuk mitigasi utama. Kategori tersebut meliputi mitigasi non struktural meliputi dimensi pengetahuan, nilai, mekanisme pengambilan keputusan, dan solidaritas kelompok. Sedangkan mitigasi struktural dapat dilihat berdasarkan dimensi mekanik. 



A. Mitigasi untuk Jenis-Jenis Bencana 



Setiap bencana memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Berbagai wilayah di negara kita memiliki sistem mitigasi tertentu berdasarkan jenis bencananya. Contoh: tanggul yang dibangun pada daerah lereng gunung berapi untuk tempat pengaliran lava, penanaman mangrove di sepanjang pantai untuk mengantisipasi bencana tsunami, dll. Kegiatan mitigasi dilakukan sesuai dengan bencana masing-masing.



1. Mitigasi Tsunami 



Kegiatan mitigasi bencana tsunami dilakukan untuk dapat meminimalisir risiko/dampak bencana tsunami. Kegiatan mitigasi bencana tsunami sebagai berikut: 

  1. penanaman mangrove (bakau) di sepanjang pantai untuk menghambat gelombang tsunami, 
  2. pembekalan pengetahuan terkait data gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Data ini seperti gempa dengan pusat getaran di laut dangkal (0-30 km) hingga laut tengah, kekuatan paling rendah 6,5 SR, dan pola sesar yang turun atau naik, 
  3. terdapat sistem peringatan dini tsunami dalam skala regional dan internasional, 
  4. pengadaan pemantauan berkala, 
  5. sistem pendeteksi tsunami dirancang dua bagian. Pertama jaringan komunikasi dan infrastruktur untuk menyampaikan informasi adanya bahaya tsunami sebagai peringatan dini. Kedua, jaringan sensor pendeteksi tsunami akan terjadi. 


Gambar 4.23. Penanaman Mangrove (Bakau). 


Sumber: dlh.semarangkota.go.id/ thelovecode.wordpress.com (2020)  



2. Mitigasi Gunung Berapi 



Kegiatan mitigasi bencana letusan gunung berapi dilakukan untuk meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana letusan gunung berapi sebagai berikut:

  1. pembangunan tanggul untuk menahan lahar agar tidak masuk ke wilayah pemukiman, 
  2. pengadaan pemantauan berkala, 
  3. pengiriman data pemantauan ke Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di Bandung dengan radio komunikasi SSB, 
  4. kegiatan tanggap darurat. Tindakan yang dilakukan ketika terjadi peningkatan aktivitas gunung api yaitu melakukan pemeriksaan berkala dan terpadu, mengevaluasi laporan dan data aktivitas vulkanik, mengirimkan tim lokasi, dan membentuk tim tanggap darurat, 
  5. pemetaan, peta kawasan rawan bencana gunung berapi dapat menjelaskan jenis dan sifat bahaya, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, pengungsian, dan pos penanggulangan bencana gunung berapi, 
  6. penyelidikan gunung berapi menggunakan metode geologi, geofisika, dan geokimia, dan 
  7. sosialisasi, yang dilakukan pada pemerintah daerah dan masyarakat. 

Gambar 4.24. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Semeru 


Sumber: kompaspedia.kompas.id/Peta KRB Gunung Semeru. Kementerian ESDM (2014) 



3. Mitigasi Gempa Bumi 



Kegiatan mitigasi bencana gempa bumi dilakukan untuk meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana gempa bumi sebagai berikut: 

  1. identifikasi sumber bahaya dan ancaman bencana, 
  2. mendirikan bangunan sesuai aturan baku (tahan gempa), 
  3. memahami lokasi bangunan tempat tinggal dan menempatkan perabotan pada tempat yang proporsional, 
  4. menyiapkan peralatan seperti senter, P3K, makanan instan, dll, 
  5. memeriksa penggunaan listrik dan gas, 
  6. mencatat nomor telepon penting dalam penanganan kebencanaan gempa bumi, 
  7. memahami jalur evakuasi dan mengikuti kegiatan simulasi mitigasi bencana gempa, dan
  8. pemantauan penggunaan teknologi yang dilakukan secara tiba-tiba. 


Gambar 4.25. Rumah Anti Gempa di Indonesia BNPB 


Sumber: eljohnnews.com/hendra (2021) 



Untuk menambah wawasan kalian tentang Kegiatan Mitigasi Bencana Gempa Bumi, silahkan klik tautan disini



4. Mitigasi Tanah Longsor 



Kegiatan mitigasi bencana tanah longsor dilakukan untuk meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana tanah longsor sebagai berikut: 

  1. menghindari daerah rawan bencana longsor untuk membangun permukiman, 
  2. mengurangi tingkat keterjalan lereng, 
  3. membuat terasering dengan sistem drainase yang tepat, 
  4. melakukan penghijauan dengan tanaman berakar dalam, 
  5. mendirikan bangunan berpondasi kuat, 
  6. penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air cepat masuk, dan 
  7. melakukan relokasi permukiman, gedung, fasilitas umum, atau lainnya di daerah yang berpotensi terjadi tanah longsor (dalam beberapa kasus). 


Gambar 4.26. Terasering di Bali 


Sumber: flickr.com/pixawe (2010) 



5. Mitigasi Banjir 



Kegiatan mitigasi bencana banjir dilakukan untuk dapat meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana banjir sebagai berikut: 

  1. pembangunan waduk untuk mencegah terjadinya banjir, 
  2. pembangunan tanggul untuk menghindari banjir, 
  3. penataan daerah aliran sungai, 
  4. penghijauan (reboisasi) daerah hulu, tengah, dan hilir sungai, 
  5. pembangunan sistem peringatan dan pemantauan, 
  6. sepanjang bantaran sungai tidak dijadikan lahan pembangunan, dan 
  7. pembersihan sampah dan pengerukan endapan sungai dilakukan secara berkala. 



Gambar 4.27. Pembangunan Bendungan 


Sumber: pu.go.id/2020 



6. Mitigasi Kekeringan 



Kegiatan mitigasi bencana kekeringan dilakukan untuk dapat meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana kekeringan sebagai berikut: 

  1. pembangunan waduk untuk mencegah terjadinya defisit air di musim kemarau, 
  2. reboisasi hutan untuk mencegah terjadinya kekeringan, 
  3. penghijauan di area permukiman warga maupun di jalan besar, 
  4. pemantauan penggunaan teknologi, 
  5. membangun atau melakukan rehabilitasi terhadap jaringan irigasi, 
  6. memelihara dan melakukan rehabilitasi terhadap konservasi lahan maupun air, dan 
  7. melakukan sosialisasi untuk penghematan air. 


Gambar 4.28. Menanam Pohon di Hutan Adat Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi, Jawa Barat 


Sumber: forestdigest.com/Dok. PSKL (2021


Belajar Geografi ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO