MITIGASI DAN ADAPTASI KEBENCANAAN A#4
D. Persebaran Bencana di Indonesia
Posisi geografis Indonesia berpengaruh pada kondisi wilayah yang rawan bencana. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar dunia. Aktivitas lempeng menyebabkan Indonesia terdampak fenomena vulkanik dan gempa bumi. Selain itu, juga mengakibatkan terbentuknya relief muka bumi yang khas dan bervariasi sehingga dapat menyebabkan tanah longsor. Selain itu, terdapat ancaman bencana banjir, tsunami, angin puting beliung, penurunan lahan, dan lainnya.
Pengurangan risiko dan dampak bencana dapat dilakukan dengan mengetahui persebaran daerah rawan bencana. Persebaran daerah rawan bencana dapat diinformasikan pada masyarakat melalui pemetaan. Pemetaan akan membantu masyarakat memiliki sikap siap siaga apabila terjadi bencana sehingga dampak bencana dapat diminimalisir. Berikut ini adalah persebaran wilayah rawan bencana alam di negara kita.
1. Gempa Bumi
Daerah di Provinsi Aceh, Sumatra Barat, pulau Jawa bagian selatan, Lombok, hingga Maluku sering dilanda getaran gempa. Beberapa tempat tersebut memiliki getaran gempa yang kuat bahkan kuat sekali, sehingga menimbulkan bencana gempa Bumi. Getaran gempa yang kita rasakan terkadang hanya menggetarkan barang disekitar, namun juga sering menjatuhkan bahkan meruntuhkan bangunan di berbagai wilayah Indonesia.
Gempa bumi terjadi secara tiba-tiba dan dapat berdampak besar terhadap daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Kekuatan gempa sebesar 5 atau 6 SR sering terjadi di negara kita, namun tidak berdampak pada kerugian. Kekuatan gempa lebih dari 7 Skala Richter dapat menyebabkan kerugian besar di Indonesia. Hal ini terjadi dua atau tiga kali setiap tahunnya. Gempa bumi berdampak pada aktivitas manusia hingga kondisi lingkungan hidup.
Mayoritas bencana gempa bumi diakibatkan oleh patahan (aktivitas tektonik atau deformasi batuan). Sebaran pusat gempa tersebar pada perbatasan lempeng (divergen, konvergen, dan transform), sehingga terdapat hubungan sangat erat antara aktivitas tektonik dengan bencana gempa bumi. Posisi Indonesia pada perbatasan lempeng menyebabkan banyaknya jumlah patahan dan tingginya ancaman gempa bumi. Pulau Papua bagian utara, Nusa Tenggara, Sumatra, Jawa, dan Sulawesi bagian utara memiliki potensi terdampak gempa bumi yang tinggi.
Gambar 4.15. Peta Indeks Ancaman Bencana Gempa Bumi di Indonesia
Sumber: bnpb.go.id (2010)
Gambar 4.15 menunjukan bahwa mayoritas wilayah Indonesia memiliki risiko gempa bumi. Bagian selatan Indonesia (Nusa Tenggara, Sumatra, Jawa) memiliki risiko yang tinggi. Selanjutnya, Sulawesi bagian utara, Ambon, dan Papua bagian utara juga memiliki risiko yang sama tingginya. Ancaman ini dikarenakan adanya lempeng-lempeng kecil di daerah utara seperti Lempeng Filipina. Pulau Jawa bagian tengah, Maluku, dan Sumatra bagian tengah masuk pada zona ancaman sedang. Pulau Kalimantan memiliki ancaman rendah karena jauh dari perbatasan dan pertemuan lempeng.
Sesar Semangko yang ada di Sumatera membentang dari teluk semangko (selatan Lampung) sampai Banda Aceh. Zona subduksi dengan sesar ini membentang secara paralel. Hal ini merupakan akibat dari Eurasia dan IndoAustralia. Zona patahan dengan variasi gempa Sumatra memiliki kedalaman dangkal (≤ 20km) dan berkekuatan sedang hingga kuat. Tingginya kerusakan yang parah dilihat dari semakin tingginya kekuatan dan kedangkalan pusat gempa. Selain sesar semangko, terdapat juga sesar lainnya seperti sesar cimandiri, opak, dan grindulu yang ada di Jawa.
2. Letusan Gunung Berapi
Masyarakat yang tinggal di sekitar gunung berapi mengenal beberapa hal yang tak biasa. Tanda-tanda yang muncul ketika gunung akan meletus ialah suara gemuruh, getaran-getaran gempa, air yang tiba-tiba menghilang, beberapa tumbuhan layu, suhu terasa lebih panas, bahkan hewan-hewan mulai bermigrasi. Menurut laporan evaluasi Kementerian ESDM pada tahun 2017, aktivitas gunung berapi di Indonesia ialah sebagai berikut:
1. level awas (level IV) diantaranya yaitu G. Sinabung,
2. level waspada (level II). Tercatat 15 gunungapi meliputi G. Kerinci, G. Lokon, G. Semeru, G. Karangetang, G. Ibu, G. Gamkonora, G. Gamalama, G. Sangeang Api, G. Anak Krakatau, G. Dukono, G. Bromo, G. Rinjani, G. Soputan, G. Rokatenda, dan G. Merapi, dan
3. level normal (level I) kondisi ini menunjukkan belum adanya aktivitas vulkanik dan tidak ada korban jiwa dari wisatawan.
Indonesia memiliki banyak gunung berapi. Persebaran gunung berapi di Indonesia berhubungan dengan lokasi zona subduksi lempeng seperti Sumatra, Jawa, Nusa tenggara, Maluku, dan Sulawesi. Pulau Papua dan Kalimantan adalah pulau yang tidak dijumpai gunung berapi. Wilayah sekitar gunung berapi memiliki risiko yang tinggi terdampak erupsi. Bahaya fenomena ini meliputi letusan akibat aktivitas vulkanik berupa benda cair, padat, dan gas yang akan membahayakan manusia maupun makhluk hidup lainnya. Peta sebaran gunung berapi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.16.
Gambar 4.16. Peta Sebaran Gunung Api Indonesia
Sumber: merapi.bgl.esdm.go.id (2016)
Jika gambar tidak jelas, kalian dapat mengunjungi tautan ini (https://merapi.bgl.esdm.go.id/pub/page.php?idx=122)
3. Tsunami
Tinggal di pesisir merupakan kesenangan tersendiri untuk dapat melihat panorama air biru dan keindahan gelombang lautnya. Di samping keindahan tersebut, tanda-tanda alam yang tak biasa perlu kita pahami karena dapat memberikan informasi terjadinya bencana. Tanah bergetar, suara gemuruh ombak yang tak biasa, dan air laut mendadak surut merupakan tanda-tanda yang disinyalir akan terjadi bencana tsunami.
Sumatera bagian selatan, kepulauan Maluku, dan Papua bagian utara memiliki risiko tsunami yang tinggi berdasarkan peta indeks ancaman tsunami Indonesia. Ancaman risiko tsunami yang rendah berada di Jawa dan pegunungan Sumatra. Selain itu, risiko yang rendah juga ada di pulau Kalimantan.
Salah satu bencana tsunami yang diakibatkan aktivitas tektonik terjadi pada tahun 2006 di Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Tsunami ini berawal dari gempa bumi berkekuatan 6,8 SR, dengan titik pusat gempa berada di kedalaman ≤ 30 km. Tsunami menerjang pantai selatan Jawa Barat seperti Cipatujah, Pangandaran, pantai selatan Cianjur, Cilauteureun, dan Sukabumi. Akibat bencana ini ratusan orang meninggal, hotel sepanjang pantai hancur, puluhan jiwa hilang, ratusan orang mengalami cedera, dan ratusan rumah hancur.
Gambar 4.17. Peta Indeks Ancaman Bencana Tsunami di Indonesia
Sumber: nat-hazards-earth-syst-sci.net (2014)
4. Banjir
Kita sering mendengar bahwa ketika curah hujan tinggi terjadi maka potensi bencana banjir akan meningkat. Langit berwarna gelap, hujan turun dengan deras dan berlangsung lama dapat menjadi tanda-tanda banjir. Kondisi ini memicu terjadinya banjir seperti yang terjadi di Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Kapuas Hulu di tahun 2021. Akibatnya banyak rumah rusak, sawah maupun ladang tergenang lumpur, bahkan banyak korban jiwa akibat bencana ini.
Mayoritas wilayah di Indonesia memiliki potensi bencana banjir. Potensi banjir dapat disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan keberadaan rawa-rawa seperti di Papua bagian selatan. Namun tidak hanya dari faktor fisik tersebut yang berkontribusi terjadinya banjir, faktor dari aktivitas dan kesadaran manusia juga menjadi penyebab terjadinya banjir.
Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya banjir dari peran manusia. Pertama, pembangunan di kawasan ruang terbuka hijau seperti pemukiman, jalan, dan gedung perkantoran. Kedua, berkurangnya resapan air hujan akan mengalirkan air ke jalanan dan mengakibatkan banjir. Ketiga, sistem drainase yang buruk juga menyumbang terjadinya banjir. Keempat, pemanfaatan waduk yang kurang maksimal. Kelima, normalisasi sungai yang rendah juga menjadi penyebab banjir dimana perlu relokasi permukiman bantaran sungai ke tempat layak huni. Peta sebaran potensi banjir di Indonesia dapat dilihat pada gambar 4.18.
Gambar 4.18. Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir Indonesia November 2021
Sumber: bmkg.go.id (2021)
5. Kekeringan
Beberapa wilayah di Pulau Jawa saat bulan tertentu mengalami musim kemarau. Wilayah tersebut diantaranya yaitu Kabupaten Kebumen, Wonogiri, Tasikmalaya, Bekasi, Ciamis, Cianjur, Mojokerto, Trenggalek, dan Ponorogo. Pada bulan-bulan tertentu, sawah-sawah menjadi kering dan tak ada lagi air untuk tanaman/irigasi. Waduk dan sungai juga mengalami kekeringan. Warga di tempat tersebut mengalami kesulitan air bersih untuk minum, mandi, dan cuci.
Ancaman bencana kekeringan yang tinggi terdapat di pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Papua. Wilayah yang terancam kekeringan ini yaitu daerah gardu luar, daerah irigasi golongan, daerah pertanian tadah hujan, dan titik endemik kekeringan. Kekeringan suatu daerah sangat dipengaruhi kondisi curah hujan, iklim yang kering, lahan yang mampu meloloskan air, atau adanya fenomena el nino.
Kekeringan di beberapa daerah merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim. Indikasi utama perubahan ini yaitu adanya anomali cuaca, pembalakan hutan besar-besaran, pertambangan non berkelanjutan, tingginya intensitas pembangunan gedung, dan tingginya alih fungsi lahan daerah pegunungan/perbukitan menjadi permukiman. Aktivitas tersebut mengakibatkan beberapa waduk di Jawa mengalami penurunan debit sehingga mengalami defisit air dalam memenuhi kebutuhan irigasi pertanian dan mengeringnya sumur masyarakat. Gambar 4.19 menunjukkan Peta Indeks Ancaman Bencana Kekeringan di Indonesia.
Gambar 4.19. Peta Indeks Ancaman Bencana Kekeringan di Indonesia
Sumber: bnpb.go.id (2020)
7. Kebakaran Hutan
Hampir setiap musim kemarau kita menyaksikan pemandangan asap yang menutup jarak pandang hingga tinggal beberapa meter. Asap itu seringkali mengganggu penerbangan, lalu lintas jalan, bahkan menimbulkan penyakit pernapasan. Asap tersebut berasal dari kebakaran hutan. Indonesia banyak memiliki titik api yang disinyalir sebagai kebakaran hutan. Titik api ini didapati pada Kalimantan dan Sumatra. Pembakaran lahan yang tidak terkendali dan tidak memperhitungkan aspek keberlanjutan menyebabkan titik api menyebar ke lahan lainnya. Pembukaan lahan dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan. Ketika pembakaran lahan dilakukan dalam skala besar, maka dapat memicu terjadinya kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan. Berikut Peta Potensi Kemudahan Terjadinya Kebakaran Ditinjau dari Analisa Parameter Cuaca.
POTENSI KEMUDAHAN TERJADINYA KEBAKARAN
DITINJAU DARI ANALISA PARAMETER CUACA
Fine Fuel Moisture Code
Berlaku untuk: 07 Juli 2020 Wilayah Indonesia
Gambar 4.21. Peta Potensi Kemudahan Terjadinya Kebakaran Ditinjau dari Analisa Parameter Cuaca
Sumber: bmkg.go.id (2020)
8. Angin Puting Beliung
Pada tahun 2018, di saat yang tak terduga-duga di Desa Mulyorejo, Jawa Timur terjadi angin yang kencang disertai gerakan berputar. Tiupan dan putaran udara itu menimbulkan kerusakan pada rumah-rumah penduduk. Atap rumah hancur, bahkan sebagian atap yang terbuat dari seng dan plastik terlempar jauh akibat tiupan angin. Itulah yang disebut bencana angin puting beliung.
Ancaman angin puting beliung relatif rendah di Indonesia. Pulau Jawa memiliki ancaman dari skala sedang hingga tinggi, sehingga memerlukan perhatian khusus. Angin puting beliung terbentuk akibat adanya awan Cumulonimbus (Cb) yang biasa ada selama musim penghujan. Namun, tidak semua awan Cb dapat mengakibatkan bencana angin puting beliung.
Penyebab terjadinya angin puting beliung dikarenakan bertemunya udara dingin dengan udara panas, sehingga terjadi bentrokan dan membentuk puting beliung. Kuatnya arus udara naik ke atas di dalam awan juga menjadi penyebab utama. Air hujan yang masih tertahan oleh udara naik ini membentuk awan Cb yang berpotensi menimbulkan puting beliung.
Ciri-ciri bencana angin puting beliung diantaranya yaitu sering terjadi pada siang hari. Biasanya puting beliung terjadi di daerah dataran rendah. Bencana puting beliung belum dapat diprediksikan karena terjadi secara tiba tiba (5-10 menit) pada skala lokal. Pusaran angin berbentuk seperti belalai gajah, dan jika kehadirannya berlangsung lama, maka lintasan yang dilaluinya mengalami kerusakan.
Gambar 4.22. Peta Indeks Ancaman Bencana Angin Puting Beliung di Indonesia
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar