Minggu, 11 Februari 2024

Struktur Lapisan Kulit Bumi dan Batuan Penyusunnya

Sumber : Gramedia.net


Para Siswa yang hebat.

Bagaimana kabar Kalian saat ini? Semoga Kalian tetap dalam keadaan yang sehat dan siap menerima materi belajar.

Para Siswa, dalam kehidupan sehari-hari, acap kali kita menjumpai berbagai fenomena litosfer. Permukaan bumi kita ini selalu mengalami perubahan, fenomena yang kita jumpai misalnya tanah longsor, lipatan, patahan, gempa bumi, gunung meletus, lahar, lava, kerikil, debu dan material lain yang dikeluarkan oleh erupsi gunung api. Gempa bumi sering melanda wilayah Indonesia. Disamping itu banyak kita jumpai berbagai jenis batuan, bahkan jenis batuan itu sangat besar manfaatnya bagi kehidupan.


Mungkin kita sering menanyakan, mengapa bumi kita selalu mengalami perubahan? Mengapa terjadi gerakan-gerakan bumi, seperti gunung meletus dan gempa bumi? Mengapa tanah di Indonesia bervariasi tingkat kesuburannya? Apa penyebab berbagai macam fenomena itu terjadi ? Apa dampak yang ditimbulkan? Nah, barangkali setelah mempelajari modul ini dengan sungguh-sungguh, semua pertanyaan di atas bisa Kalian jawab.

Modul Kita ini membahas Dinamika Litosfer. Di dalamnya terdiri dari tiga kegiatan belajar yang menguraikan ; Karakteristik Lapisan-lapisan Bumi, Tenaga Endogen

- tenaga eksogen dan pengaruhnya terhadap kehidupan, serta Dinamika perubahan tanah yang meliputi Pembentukan, persebaran, pemanfaatan, dan konservasi tanah.

Modul ini juga dilengkapi dengan deskripsi tugas yang harus Kalian kerjakan, Soal- soal latihan untuk memperkuat pemahaman, Penilaian Diri yang bisa Kalian gunakan sebagai bahan mengevaluasi diri dan membiasakan kejujuran, serta evaluasi yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana Kalian menguasai materi belajar dalam modul ini. Oleh karena itu pelajari Modul ini dengan kesungguhan hati dan motivasi yang tinggi, agar tujuan pembelajaran berhasil Kalian dapatkan dengan baik.



Selamat Belajar!

Tujuan Pembelajaran


Setelah kegiatan pembelajaran 1 ini diharapkan kalian dapat menganalisis karakteristik lapisan-lapisan bumi dan dinamika batuan dan tanah.

A. Pengertian Litosfer

Para siswa, Lapisan kulit bumi atau kerak bumi sering disebut litosfer. Litosfer ini berasal dari kata litos artinya batu, sfer = sphaira artinya bulatan/lapisan. Litosfer merupakan lapisan batuan/kulit bumi yang mengikuti bentuk bumi yang bulat dengan ketebalan kurang lebih 1.200 km. Jadi litosfer adalah lapisan bumi paling luar yang paling luas dan paling tipis, karena itulah lapisan ini sering dinamakan dengan kerak bumi. Tebal kulit bumi tidak merata, kulit bumi di bagian benua atau daratan lebih tebal dari bagian samudra. Untuk memahami lapisan-lapisan bumi, coba amati Gambar berikut!


Gambar 1. Lapisan-lapisan Bumi
Sumber: https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/lithosphere/ (diakses 25 Oktober 2020)

Setelah mengamati gambar di atas Kalian bisa menentukan ada berapakah lapisan itu? Ya benar! Secara keseluruhan, tubuh bumi terdiri dari tiga bagian utama, yaitu litosfer, mantel dan inti (barisfer).

Menurut ahli geologi, Suees dan Wiechert struktur lapisan bumi struktur bumi dibagi sebagai berikut:

a. Kerak bumi (Earth’s crust : The Upper Sell),

merupakan lapisan bumi yang paling atas, mempunyai tebal 30 km sampai 40 km pada daratan, dan pada pegunungan ketebalannya bisa mencapai 70 km. Berat jenis rata-rata 2,7 yang terdiri dari unsur-unsur dominan berupa oksigen, silisium dan aluminium, sehingga dinamakan lapisan sial. Kerak bumi dan selubung bumi bagian atas, disebut lithosfer.

b. Selubung bumi atau mantel,


ketebalannya sampai kedalaman 1.200 km dari permukaan bumi. Berat jenis lapisan ini antara 3,4 sampai 4. Unsur-unsur yang dominan pada selubung bumi adalah oksigen, silisium dan magnesium sehingga dinamakan sima.

c. Lapisan antara (intermediate shell) atau mantel bumi atau chalkosfera

merupakan sisi oksida dan sulfida dengan ketebalan 1.700 km dan berat jenis 6,4. Lapisan ini terbagi 2 yaitu lapisan yang terletak pada kedalaman antara 1.200 km sampai 1.250 km dinamakan Crofesima, berat jenis antara 4 sampai 5 terdiri dari unsur-unsur dominan oksigen, ferrum, silisium, magnesium, dan sedikit chromium. Lapisan antara kedalaman 1.250 km sampai 2.900 km dinamakan Nifesima, berat jenis antara 5 sampai 6, unsur yang penting (dominan) adalah Nikel.

d. Inti Bumi (The earth’s core) atau Barysfera.

Lapisan ini diperkirakan mencapai kedalaman 5.500 km, banyak mengandung besi dan nikel sehingga disebut Nife, berat jenisnya antara 6 samapi 12 dengan rata-rata 9,6. Ketebalan inti bumi mempunyai jari-jari kurang lebih 3.500 km.


Holmes melakukan pembagian litosfer (kerak bumi) seperti berikut:

Bagian atas yang mempunyai tebal 15 km dengan berat jenis kurang lebih 2,7 dan mempunyai tipe magma granit.


Bagian tengah yang mempunyai tebal 25 km dengan berat jenis 3,5 dan mempunyai tipe magma basalt.


Bagian bawah yang mempunyai tebal 20 km dengan berat jenis 3,5 dan mempunyai tipe magma peridotit dan magma eklogit.


Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa litosfer merupakan lapisan yang paling atas dari tubuh bumi, lapisan ini secara umum terbagi menjadi dua, yaitu;

1) Lapisan sial (silisium alumunium)

lapisan kulit bumi yangtersusun atas logam silisium dan alumunium, senyawanya dalam bentuk SiO2 dan Al2O3.

2) Lapisan sima (silisium magnesium)

lapisan kulit bumi yang tersusun oleh logam logam silisium dan magnesium dalam bentuk senyawa SiO2 dan MgO, mempunyai berat jenis yang lebih besar dari pada lapisan sial karena mengandung besi dan magnesium yaitu mineral ferro magnesium dan batuan basalt.



B. Batuan


Batuan adalah bahan alamiah yang menyusun bumi. Sebagian besar batuan tersusun secara fisik dari campuran mineral. Beberapa batuan tersusun dari sejenis mineral saja, beberapa yang lain dibentuk oleh gabungan berbagai mineral.

Batu-batuan kulit bumi dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: batuan beku (igneous rocks), batuan sedimen (sedimentary rocks), dan batuan metamorf/malihan (metamorphic rocks). Batuan-batuan tersebut berbeda-beda materi penyusunnya dan proses terbentuknya.


1. Batuan Beku (igneus rocks)


Batuan beku adalah batuan yang terbentuk dari magma pijar yang membeku menjadi padat. Contoh batuan beku berdasarkan tempat terbentuknya magma, batuan beku dibagi atas 3 macam :

1) Batuan Beku Dalam Plutonik)

Terjadi di dalam magma, dengan penurunan suhu secara perlahan.

Penurunan suhu secara perlahan tersebut menyebabkan proses kristalisasi terjadi dengan sempurna. Batuan ini terbentuk ketika magma masih berada pada bagian kerak bumi yang dalam.

Bantuan beku ini disebut juga sebagai plutonik atau batuan abisik. Batuan ini mempunyai struktur holokristalin, artinya batuan tersebut seluruhnya terdiri dari kristal-kristal. Pembentukan kristal membutuhkan waktu yang lama dan kondisi tertentu. Batuan beku plutonik berstruktur fanerik, artinya mineral-mineral penyusunnya dapat dilihat mata secara langsung tanpa menggunakan alat. Contoh batuannya batu granit, diorite,gabro, peridotit.


2) Batuan Beku korok/gang/celah (Hypabisal)



Batuan ini terbentuk dalam celah-celah atau rekanan-rekanan kerak bumi.

Batuan beku korok/gang memilik struktur beragam tergantung dari penurunan suhunya. Batuan yang dekat dengan dapur magma mempunyai struktur holokristalin, sedangkan yang lebih dekat dengan permukaan bumi mempunyai struktur porfir, yang memperlihatkan adanya butiran (kristal) yang tidak seragam (inequigranular) terdiri atas butiran yang besar (fenokris) dan masa dasar (groundmass) atau matriks (matrix) yang lebih halus. Contoh batuannya adalah Ryolit porfir, Andesit porfir dan Basalt porfir.


3) Batuan Beku Luar/lelehan (Vulkanik)


Batuan ini terbentuk dari pembekuan magma di permukaan bumi. Proses pembekuan terjadi di permukaan bumi sehingga prosesnya cepat. Proses ini menyebabkan sebagian besar mineralnya tidak memiliki waktu untuk membentuk kristal dan bersifat amorf. Batuan yang memiliki sifat amorf, susunan atom atau partikelnya tersusun secara acak dan tidak teratur, seperti susunan atom kaca, karet dan plastik. Contoh batuan beku luar adalah: batu apung (pumice), scoria, piroklastik, obsidian, ryolit, andesit dan basalt.


2. Batuan Sedimen (Sedimentary Rock)


Batuan sedimen ialah batuan yang terbentuk dari endapan hasil dari proses pelarutan atau pengikisan batuan yang sudah ada sebelumnya, baik berasal dari batuan beku, batuan metamorf, atau batuan sedimen . Ciri utama batuan sedimen adalah berlapis-lapis.


Berdasarkan proses pembentukannya, batuan sedimen dapat dikelompokkan menjadi, sebagai berikut:


a) Batuan sedimen klastik


Batuan asal mengalami penghancuran secara mekanik dari ukuiran besar menjadi ukuran kecil, dan megalami transportasi kemudian mengendap membentuk batuan sedimen klastik. Contoh : batupasir, konglomerat dan breksi.


b) Batuan sedimen kimiawi


Batuan sedimen pada pengendapannya terjadi pengendapan proses kimiawi, seperti penguapan, pelarutan, dan dehidrasi. Contoh : Batu gamping (limestone, dolostone, rijang (chert) batuan evaporit


c) Batuan sedimen organik

Batuan sedimen organik terjadi karena selama proses pengendapannya mendapat bantuan dari organisme, yaitu sisa rumah atau bangkai binatang di dasar laut. Contoh : batuan fosfat, Coal (batu bara) dan koral.


3. Batuan Malihan (Metamorphic Rock)



Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari batuan induk, dapat berupa batuan beku, batuan sedimen, ataupun metamorf yang mengalami proses metamorfosa. Dari beberapa penulis di dalam beberapa bukunya pembagian jenis metamorfosa ini berbeda satu sama lain. Secara garis besar pembagian metamorfosa tersebut dilihat dari ruang lingkup daerah terjadinya, Bucher dan Frey (1994) membagi menjadi 2 jenis, yaitu :


a. Metamorfosa lokal


Pengertian lokal disini adalah berhubungan dengan luas daerah dimana proses metamorfosis tersebut terjadi. Luasnya hanya sampai beberapa meter persegi. Metamorfosa yang disebut sebagai metamorfosa lokal ini antara lain :


1) Metamorfosa thermal (kontak)

Metamorfosa kontak adalah rekristalisasi batuan di sekitar atuan beku intrusi maupun ekstrusi. Zona metamorfosis kontak disebut contact aureole. Tipe khas dari batuan metamorf kontak ini adalah batuan metamorf “non-schistose” yang disebut dengan hornfels. Kadang- kadang dapat juga ditemui batuan yang “schistose”. Kenaikan temperatur karena konduksi panas pada daerah-daerah tertentu dan juga karena permeasi dari aqueous fluida yang berasal dari tubuh batuan beku.


2) Metamorfosa dinamik

Metamorfosa ini terjadi karena perbedaan tekanan yang tinggi pada daerah yang mengalami deformasi intensif (tensional faulting). Proses yang terjadi murni karena gaya mekanis. Batuan yang dihasilkan adalah fault breccia, fault gauge, atau milonit.


3) Pirometamorfosa

Metamorfosa yang juga disebut metamorfosa optalik, atau kaustik. Faktor penyebab pada metamorfosa ini hanya panas dengan temperatur yang ekstrim. Pirometamorfisme diperlihatkan oleh aliran xenolith dan dike pada batuan vulkanik khususnya basalt.


4) Metasomatisme

Metamorfosa ini terjadi karena meresapnya cairan dan gas yang panas pada celah antar butir atau retakan batuan.

5) Metamorfosa Impact


Metamorfosa ini terjadi akibat adanya tabrakan hypervelocity sebuah meteorit. Kisaran waktunya hanya beberapa mikrodetik dan umumnya ditandai dengan terbentuknya mineral coesite dan stishovite. Metamorfosa ini erat kaitannya dengan panas bumi (geothermal).

6) Metamorfosa Retrogade/Diaropteris

Terjadi akibat adanya penurunan temperatur sehingga kumpulan mineral metamorfosa tingkat tinggi berubah menjadi kumpulan mineral stabil pada temperature yang lebih rendah. (Combs, 1961)


b. Metamorfosa regional / dinamothermal

Metamorfosa regional atau dinamothermal merupakan metamorfosa yang terjadi pada daerah yang sangat luas. Metamorfosa ini terjadi pada daerah yang sangat luas. metamorfosa regional dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:


1) Metamorfosa Orogenik

Metamorfosa ini terjadi pada daerah sabuk orogenik (patahan dan lipatan) dimana terjadi proses deformasi yang menyebabkan rekristalisasi. Umumnya batuan metamorf yang dihasilkan mempunyai butiran mineral yang yang memanjang dari ratusan sampai ribuan kilometer. Proses metamorfosa ini memerlukan waktu yang sangat lama berkisar antara puluhan juta tahun.


2) Metamorfosa Burial


Metamorfosa ini terjadi oleh akibat kenaikan tekanan dan temperatur pada daerah geosinklin yang mengalami sedimentasi intensif, kemudian terlipat. Proses yang terjadi adalah rekristalisai dan reaksi antara mineral dengan fluida.


3) Metamorfosa Dasar dan Samudera

Metamorfosa ini terjadi akibat adanya perubahan pada kerak samudera di sekitar pematang tengah samudera (mid oceanic ridges). Batuan metamorf yang dihasilkan umumnya berkomposisi basa dan ultrabasa. Adanya pemanasan air laut menyebabkan mudah terjadinya reaksi kimia antara batuan dan air laut tersebut.




Gambar 2. Siklus Batuan

Sumber: https://www.gurugeografi.id/2019/01/kunci-jawaban-unbk-geografi-2018-

nomor.html (diakses 26 Oktober 2020)




Keterangan:

1 = Magma batuan cair pijar didalam lithosfer, bentuk mula–mula siklus batuan

2 = Batuan Beku.

a = Karena pendinginan magma menjadi makin padat membeku.


3 = Batuan sedimen Klastis.

b=Batuan beku rusak hancur karena tenaga eksogen: air hujan,panas/dingin, es, angin, dll, diangkut diendapkan menjadi batuansedimen klastis.


4.a= Batuan sedimen chemis.

c.1 = Batuan larut dalam air dan langsung diendapkan menjadi batuan sedimen chemis.


4.b= Batuan sedimen organis.

c.2 = Batuan larut dalam air diambil oleh organisme dan melalui organisme membentuk batuan endapan organisme.


5 = Batuan metamorf.

d = Karena tekanan dan suhu batuan beku dan batuan sedimen mengalami perubahan bentuk menjadi batuan malihan (metamorf )


C. Mineral


Dalam mineralogi yang dimaksud dengan mineral adalah bahan alamiah yang anorganik, biasanya berbentuk kristal, tersusun dari satu unsur atau persenyawaan beberapa unsur dengan bentuk dan komposisi kimia tetap.

Dari hasil analisis kimia yang dilakukan pada batuan, ada 8 unsur yang membentuk kerak bumi. Unsur-unsur tersebut ternyata membentuk berbagai macam silikat dan oksida, sebagian besar membentuk mineral utama yang terdapat dalam batuan yang disebut mineral pembentukan batuan. Unsur-unsur pembentuk kerak bumi tersebut yaitu:

O2= 47 % Ca = 3,5 %

Si = 27 % Na = 2,5 % Al = 8 % K = 2,5 % Fe = 5 % Mg = 2,5 %

Berdasarkan peranannya dalam ilmu batuan, mineral-mineral pembentuk batuan dibagi menjadi:

1. Mineral Utama


Adalah komponen mineral dari batuan yang diperlukan untuk menggolongkan

dan menamakan batuan, tetapi tidak perlu terdapat dalam jumlah yang banyak. Beberapa mineral penting yang sering terdapat dalam batuan:


a. Felspar


Adalah suatu kumpulan dari sejumlah mineral pembentuk batuan.

Rumus umum = MAI (Al Si)3O8, M= K, Na, Ca, Ba, Rb, Sr, Fe.

Felspar berwarna putih atau keputih-putihan. tidak mempunyai warna tersendiri tetapi sering diwarnai oleh pengotoran-pengotoran zat lain.


b. Plagioklas


Rumus umum : (Na, Ca) Al (Si, Al)) Si2O8

Warna : putih, putih kelabu, kadang keijauan, kebiru-biruan. Komposisi plagioklas dibagi 3 :

• Plagioklas asam

• Plagioklas medium

• Plagioklas basa


c. Ortoklas

Mineral terdiri dari kumpulan feldspar alkali. Feldspar pembentuk batuan granit atau batuan asam. Berwarna putih, putih-kuning, kemerah-merahan,

keabu-abuan.


d. Mika

Mika adalah sejumlah mineral dengan rumus: (K, Na, Ca) (Mg, Fe, Li, Al)2-3(Al, Si)4O10 (OH F)2.

Warnanya mulai dari tak berwarna, putih, perak, cokelat muda, kuning kehijauan atau hitam.


e. Muskovit

Muskovit adalah salah satu mineral dari kumpulan mika. Berwarna cokelat dan

tak berwarna. Mineral yang umum terdapat dalam batuan malihan, batuan asam, batuan endapan.

Rumus umum : KAl2 (OH)2 AlSi3 O10)


f. Biotit

Biotit adalah satu mineral dari kumpulan mika tesebar luas, merupakan mineral pembentuk batuan yang penting. Berwarna cokelat tua, hitam, atau hijau tua.

Rumus umum : K2(Mg, Fe)2(OH)2(AlSi3O10)


g. Amfibol

Amfibol adalah kumpulan sejumlah mineral pembentuk batuan. Berwarna gelap.

Rumus :

A2-3B5(Si, Al)8O22(OH)2A = Mg, Fe+2, Ca atau NaB + Mg, Fe+2, Al atau Fe+3


h. Hornblenda

Hornblende adalah salah satu mineral penting dari kumpulan amfibol. Berwarna hitam, hijau tua cokelat. Terdapat pada batuan asam atau batuan entermedier. Misalnya : granit, sianit, diorit, andesit.


i. Piroksen

Piroksen adalah kumpulan dari sejumlah mineral yang berwarna gelap. Rumus umum : ABSi2O6 → A = Ca, Na, Mg atau Fe-2 B = Mg, Fe+3, Al


j. Augit

Piroksen adalah salah satu mineral dari kumpulan piroksen. Umumnya berwarna hitam, hijau tua. Merupakan mineral pembentuk batuan basa. Misalnya : gabro, basal, peridotit.


k. Olivin

Olivin adalah mineral berwarna kuning kehijauan, kelabu kehijauan, atau cokelat.  merupakan mineral pembentuk batuan beku basa, ultra basa dan batuan beku dengan kadar silikat rendah.

Rumus : (Mg, Fe)2SiO4


l. Kuarsa

Kuarsa Merupakan mineral pembentuk batuan penting. Tidak berwarna dan tembus pandang, kadang-kadang berwarna cokelat, kuning ungu merah, hijau, biru atau hitam. Hal ini disebabkan oleh adanya pengotoran. Kuarsa juga terdapat sebagai mineral-mineral kecil dalam berbagai macam batuan, yaitu batuan beku, batuan endapan, batuan malihan. dalam industri kuarsa digunakan oleh pabrik kaca, semen, keramik, dll.

Rumus : SiO2


2. Mineral sekunder



Mineral sekunder dibentuk dari mineral primer oleh proses pelapukan, sirkulasi larutan atau metamorfosis. Selain pada batuan yang telah lapuk juga pada batuan malihan. Contoh : Klorit, terbentuk dari mineral biotit oleh proses pelapukan.

3. Mineral aksesori atau mineral tambahan

Mineral aksesori atau mineral tambahan terbentuk oleh kristalisisi magma,

terdapat dalam jumlah sedikit, umumnya kurang dari 5%. Mineral zirkon juga merupakan mineral aksesor yang umum terdapat dalam batuan asam (granit).


Rangkuman





Litosfer merupakan lapisan batuan/kulit bumi yang mengikuti bentuk bumi yang bulat. Litosfer merupakan bagian dari lapisan –lapisan bumi, yakni lapisan paling atas yang paling luas dan paling tipis.Bumi terbentuk atas 3 lapisan yakni :

• Barisfer,

• Mantel, dan

• Litosfer,yang terbagi menjadi menjadi dua, yaitu;

a) Lapisan sial (silisium aluminum)

b) Lapisan sima (silisium magnesium),


Batuan adalah bahan alami yang menyusun bumi. Sebagian besar batuan tersusun secara fisik dari campuran mineral.


Batu-batuan kulit bumi dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

1) Batuan Beku (igneous rocks). Batuan beku dibagi atas 3 macam :

• Batuan Beku Dalam (Plutonik)

• Batuan Beku korok/gang/celah (Hypabyssal)

• Batuan Beku Luar/lelehan (Vulkanik)

2) Batuan sedimen (Sedimentary rock )

• Batuan sedimen klastik

• Batuan sedimen kimiawi

• Batuan sedimen organik

3) Batuan malihan (Metamorphic Rock)

• Metamorfosa lokal

• Metamorfosa regional


Ketiga macam batuan penyusun kerak bumi tersebut mengalami siklus pembentukan yang dinamakan dengan Siklus Batuan. Dalam siklusnya, batuan diawali dari magma yang ada di bawah lapisan kerak bumi mengalami pembekuan, menjadi batuan beku, kemudian mengalami pelapukan, pengangkutan, dan pengendapan, membentuk batuan sedimen, dan kemudian mengalami metamorphosis, membentuk batuan metamorf, pada akhirnya kembali melebur menjadi magma.


Batuan tersusun atas mineral yakni bahan alami yang anorganik, biasanya berbentuk kristal, tersusun dari satu unsur atau persenyawaan beberapa unsur dengan bentuk dan komposisi kimia tetap.


Mineral adalah bahan alami yang anorganik, biasanya berbentuk kristal, tersusun dari satu unsur atau persenyawaan beberapa unsur dengan bentuk dan komposisi kimia tetap.


Berdasarkan peranannya dalam ilmu batuan, mineral-mineral pembentuk batuan dibagi menjadi:

a) Mineral utama.

b) Mineral sekunder.

c) Mineral aksesori atau mineral tambahan.

Minggu, 24 Desember 2023

MITIGASI DAN ADAPTASI KEBENCANAAN B#2

 B. Adaptasi untuk Jenis-Jenis Bencana 



Kita sering mendengar keberadaan rumah tahan gempa, rumah anti banjir, dan embung untuk menyiasati kekeringan. Upaya yang dilakukan masyarakat tersebut merupakan respon terhadap kebencanaan yang terjadi sebelumnya. Seperti halnya ketika gempa terjadi, maka banyak bangunan rumah hancur, pohon-pohon tumbang, bahkan tidak ada lagi harta benda yang tersisa. Selanjutnya, manusia berpikir untuk dapat terus bertahan hidup dan tidak mengalami kerugian yang sama, sehingga mereka membangun rumah tahan gempa. 



Adaptasi bencana adalah serangkaian upaya atau cara manusia untuk bertahan hidup (survive) dengan melakukan penyesuaian lingkungan. Pola adaptasi muncul dalam berbagai bentuk yang dapat dilihat ketika manusia mengubah perilakunya sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Hal tersebut juga berarti manusia dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadinya (Huda, 2016). Demikian dengan bentuk adaptasi dari setiap bencana dan kondisi masyarakat yang berbeda menentukan keragaman bentuk adaptasi. 



Adaptasi terhadap bencana perlu dilakukan mengingat kita tinggal di daerah rawan bencana yang akan membahayakan keberlangsungan hidup. Kemampuan beradaptasi ditentukan oleh kapasitas, struktur pengambilan keputusan dalam masyarakat, dan ketersediaan teknologi. Berikut akan diuraikan bentuk-bentuk adaptasi masyarakat terhadap berbagai jenis bencana. 



1. Adaptasi Bencana Alam 



Berikut beberapa adaptasi terkait bencana alam yang ada di Indonesia: 



a. Adaptasi Bencana Gempa Bumi 



Perubahan bentuk dan konstruksi bangunan permukiman masyarakat sesuai dengan syarat dan standar kelayakan hunian di wilayah yang mereka tempati. Perubahan konstruksi rumah sebagai bentuk adaptasi terhadap bencana gempa bumi merupakan wujud strategi adaptasi fisik (Jauhari, 2018). Selain itu, adaptasi masyarakat juga dapat dilakukan dengan membangun aktivitas yang dapat menjaga ketahanan pangan mereka, seperti aktivitas living food bank yaitu menanam tanaman palawija, kelapa, jengkol, rambutan, pisang, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya. Upaya tersebut dimaksudkan apabila suatu saat terjadi gempa, masyarakat tetap mempunyai persediaan pangan. 


Gambar 4.29. Rumah Suku Sasak yang Tahan Gempa 


Sumber: itb.ac.id/ Nur Faiz Ramdhani (2018) 



b. Adaptasi Bencana Tsunami 


Upaya adaptasi dalam menghadapi bencana tsunami diantaranya: 

  1. mengaktifkan partisipasi masyarakat wilayah pesisir yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan terkait bencana gempa yang berpotensi tsunami; 
  2. melakukan pembangunan tembok pemecah gelombang atau breakwater; 
  3. pemasangan papan penunjuk jalur evakuasi, 
  4. rambu-rambu penunjuk keterdapatan arus balik di pantai, 
  5. pembangunan tanggul laut atau seawall, dan 
  6. rambu-rambu penunjuk jalur evakuasi yang memberikan arahan pada pengunjung maupun masyarakat ketika terjadi tsunami. 

Gambar 4.30. Breakwater di Pangandaran 


Sumber: kkp.go.id/AJK (2021)



Program edukasi kepada masyarakat dapat dilakukan dengan sosialisasi secara berkala tentang rawan bencana, desa tangguh bencana, dan kelompok siaga bencana. Partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang fundamental. Masyarakat berperan sejak awal perencanaan, termasuk saat rehabilitasi, dan saat terjadi bencana (Osti, 2004) 



c. Adaptasi Bencana Gunung Meletus 



Masyarakat dapat beradaptasi dengan beberapa upaya. Upaya adaptasi dari bencana gunung meletus diantaranya pembuatan rumah yang kokoh, dinding rumah yang tebal dan atap rumah yang tahan terhadap hujan air dan hujan abu. Masyarakat dapat menggunakan masker dan menggunakan pakaian tebal supaya dapat terhindar dari dinginnya udara pegunungan dan letusan abu vulkanik (Yulisar et al., 2019).


Gambar 4.31. Warga Sekitar Gunung Agung Menggunakan Masker 


Sumber: nasional.tempo.co/REUTERS/Johannes P. Christo (2017) 



d. Adaptasi Bencana Tanah Longsor 



Adaptasi bencana tanah longsor dapat menggunakan konsep Berry John (1980) yaitu adaptation by reaction, adaptation by adjustment dan adaptation by withdrawal. Adaptation by reaction adalah adaptasi yang dilakukan dengan penanaman beberapa pohon di lokasi yang terkena tanah longsor. Adaptation by adjustment, strategi perubahan perilaku masyarakat terhadap lingkungan agar menjadi lebih baik. Selanjutnya adaptation by withdrawal yaitu adaptasi dengan cara keluar dari lingkungan tempat tinggal yang rawan ke tempat yang lebih aman.

Gambar 4.32. Danrem 071 Menanam Pohon di Sekitar Bekas Lokasi Tanah Longsor Banjarnegara 

Sumber: tniad.mil.id (2015) 



e. Adaptasi Bencana Banjir 



Adaptasi yang dilakukan manusia dalam menghadapi bencana banjir meliputi berbagai tindakan perbaikan, rekayasa, ataupun perubahan dalam beberapa aspek kehidupan (Huda, 2016). Terdapat beberapa bentuk adaptasi terhadap banjir. 

  1. Adaptasi aktif adalah strategi optimalisasi sumber daya manusia untuk aktivitas kehidupan sehari-hari dalam menghadapi dinamika lingkungan. Contohnya menjadi tukang ojek perahu, meninggikan pondasi/lantai rumah, membangun rumah menjadi dua lantai, dan meninggikan perlengkapan rumah tangga dengan berbagai teknik tertentu. 
  2. Adaptasi pasif ialah strategi mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan yang sifatnya pasif. Contoh adaptasi pasif terhadap bencana banjir yaitu pengetahuan perkiraan bulan hujan yang berisiko banjir, sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri. Masyarakat petani yang menjadi korban banjir, mereka menerapkan pertimbangan untuk mendahulukan keselamatan (safety first). 
  3. Adaptasi sosial ketika menghadapi bencana banjir diwujudkan dalam bentuk gotong royong dan meningkatkan rasa solidaritas antar warga. Masyarakat saling ikut membagikan makanan, membantu mengevakuasi, membetulkan rumah, membuat posko pengungsian, dapur umum, dan lain-lain. 
  4. Adaptasi Ekonomi. Dalam menghadapi banjir, adaptasi ekonomi masyarakat meliputi bantuan gratis dari lembaga-lembaga sosial seperti bantuan makanan, pakaian, dan sebagainya. Untuk mengurangi kerugian dan kerusakan pada perlengkapan rumah tangga, masyarakat akan menempatkan barang penting pada tempat tinggi supaya tidak tergenang air.
  5. Adaptasi Budaya. Ketika bencana banjir datang masyarakat akan mengadakan tahlilan dan doa Bersama. Sebagian masyarakat masih ada yang melakukan sedekah bumi sebagai bentuk adat istiadat yang dipertahankan sampai sekarang. Selain itu, pembuatan floodway atau sudetan juga mengurangi risiko terjadinya banjir. 


Gambar 4.33. Rumah Pondasi Tinggi Dapat Mencegah Air Banjir Masuk ke Dalam Rumah 


Sumber: newsclick.in (2020) 



Untuk menambah wawasan kalian tentang Adaptasi dan Mitigasi Bencana, silahkan scan kode QR di samping atau klik tautan disini



f. Adaptasi Bencana Rob 



Banjir rob adalah naiknya permukaan laut atau air laut ke daratan yang disebabkan air laut pasang. Terdapat beberapa adaptasi terhadap bencana rob yang dapat dilakukan masyarakat. 



  1. Adaptasi di sekitar tempat tinggal. Adaptasi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain meninggikan lantai rumah dan atapnya, menambah lantai rumah (rumah dua lantai), menguruk tanah untuk meninggikannya, di samping jalan dibangun talud-talud sebagai pencegah air mengalir menuju rumah-rumah, meninggikan barang-barang rumah tangga agar tidak terendam air serta meninggikan pipa distribusi air bersih. 
  2. Adaptasi pada lahan tambak. Dalam menghadapi rob dapat dilakukan dengan meninggikan tanggul tambak dan memasang jaring waring di sekeliling tambak. Tanggul tambak dibuat supaya air dan hewan-hewan dari tambak tidak meluap ke jalan-jalan dan daerah sekitar. 
  3. Adaptasi sosial. Dalam menghadapi rob dapat berupa kegiatan gotong royong seperti bekerja sama dalam peninggian jalan, pembuatan instalasi pompa penyedot rob, serta perbaikan fasilitas umum. 
  4. Adaptasi Ekonomi. Masyarakat dapat beralih mata pencaharian yang awalnya petani tambak dan nelayan, berubah menjadi buruh, pedagang, serta pekerjaan lain di luar lingkungan tempat tinggal mereka untuk mampu beradaptasi. 
  5. Adaptasi budaya. Budaya gotong-royong dan keagamaan harus senantiasa diperkuat dan dipertahankan karena hal tersebut dapat menjadi kekuatan dalam bertahan di lingkungan yang saling membutuhkan untuk bersama sama menghadapi bencana rob (Sutigno & Pigawati, 2015). 


Gambar 4.34. Banjir Rob di Muara Angke, Jakarta 


Sumber: cnnindonesia.com (2021) 



g. Adaptasi Bencana Kekeringan 



Bencana kekeringan berkaitan dengan ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan. Beberapa adaptasi untuk menghadapi bencana kekeringan yang dapat dilakukan masyarakat antara lain: 

  1. meningkatkan daya dukung DAS (Daerah Aliran Sungai) sebagai daerah resapan air; 
  2. membangun, mengelola, dan/atau merehabilitasi bendungan, dam, waduk, dan reservoir kapasitas besar debit musiman (termasuk dengan memanfaatkan teknologi satelit, weather forecasting, dsb); 
  3. mengembangkan teknologi irigasi baru untuk intensifikasi pertanian (spray and drip irrigation) sekaligus untuk penghematan air; dan 
  4. menyelenggarakan program kampanye hemat air (DPU, 2007). 

Gambar 4.35. Rehabilitasi Bendungan Benenain NTT 


Sumber: Kementerian PUPR (2021) 



h. Adaptasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan 



Setiap masyarakat memiliki adaptasi sendiri dalam menghadapi sebuah bencana. 


Adaptasi bencana yang akan diuraikan berikut ini akan mengulas sebuah adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat daerah rawan bencana kebakaran hutan dan lahan yaitu Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti yang terdiri dari 4 jenis adaptasi. Adaptasi masyarakat Desa Sungai Tohor (Zatul, 2021) antara lain: 

  1. Adaptasi fisik, yaitu dengan membuat sekat kanal dan embung di lahan sebagai cadangan menampung air untuk kebun dan saat terjadi kebakaran; 
  2. Adaptasi ekonomi, masyarakat mengerjakan beberapa pekerjaan untuk sumber pendapatan sebagai petani, buruh potong, dan buruh angkut tual sagu; 
  3. Adaptasi struktural, masyarakat mengupayakan berbagai aktivitas ramah lingkungan gambut dan melakukan kerjasama dengan pemerintah dan kelembagaan desa; dan 
  4. Adaptasi kultural, masyarakat menghindari kebiasaan membuka lahan dengan memerun (budaya masyarakat Desa Sungai Tohor).  


Gambar 4.36. Masyarakat Sungai Tohor dalam Menjaga Sekat Kanal 


Sumber: brg.go.id (2019) 


i. Adaptasi Bencana Puting Beliung 


Puting beliung bersifat merusak hingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis. Untuk meminimalisir risiko akibat puting beliung, masyarakat perlu beradaptasi dengan meningkatkan struktur fisik bangunan hunian, meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam menghadapi bencana puting beliung (Hermon, 2018). 

Gambar 4.37. Rumah Anti Angin Puting Beliung Karya TMMD 


Sumber: indiespot.id (2019) 



2. Adaptasi Bencana Non Alam 



Wabah penyakit merupakan fenomena terjadinya persebaran penyakit secara luas dan menulari penduduk. Pada pertengahan sampai akhir abad ke-14 sebuah pandemi hebat pertama kali melanda Eropa dan membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa, wabah tersebut kita kenal dengan sebutan black death. Saat ini, dunia kembali dihadapkan dengan wabah penyakit Covid-19 yaitu sebuah penyakit yang disebabkan oleh kelompok virus yang menginfeksi sistem pernapasan manusia. Pandemi ini tidak hanya menyerang satu wilayah, namun sudah menyebar ke berbagai negara yang jauh dari pusat wabah. 

Gambar 4.38. Grafik Kasus Konfirmasi, Sembuh dan Meninggal COVID-19 di Indonesia 


Sumber: kemkes.go.id (2021) 



Adaptasi kebiasaan baru diterapkan untuk menjaga produktivitas selama masa pandemi dengan menerapkan perilaku pencegahan penularan Covid-19. Beberapa adaptasi masyarakat dalam menghadapi Covid-19 diantaranya: 

  1. selalu menggunakan masker saat keluar rumah; 
  2. hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut jika belum mencuci tangan; 
  3. menjaga jarak 1-2 meter; 
  4. selalu mencuci tangan memakai sabun dengan air mengalir; 
  5. membawa hand sanitizer ketika bepergian; 
  6. konsumsi makanan bergizi untuk tetap menjaga imun tubuh; dan 
  7. rajin berolahraga. Selain wabah penyakit, kegagalan teknologi juga termasuk bencana non alam. 



Kegagalan teknologi ialah peristiwa bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri. Sebagai upaya pengurangan risiko bencana kegagalan teknologi maka beberapa adaptasi yang dapat dilakukan adalah membatasi dan mengurangi kapasitas penampungan bahan kimia yang berbahaya dan mudah terbakar, meningkatkan standar keselamatan pabrik dan desain peralatan, dan membuat prosedur operasi penyelamatan apabila terjadi kecelakaan teknologi. 



Kegagalan modernisasi juga termasuk jenis bencana non alam. Bentuk adaptasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi kegagalan modernisasi diantaranya melakukan pemerataan pembangunan yang berimbang, sehingga daerah tertinggal juga mendapatkan akses dan fasilitas yang sama dengan daerah yang sudah maju (perkotaan). 

Gambar 4.39. Mencuci Tangan adalah Salah Satu Upaya yang Dilakukan di Masa Pandemi Covid-19 



3. Adaptasi Bencana Sosial



Adaptasi yang dapat dilakukan masyarakat ketika menghadapi bencana sosial diantaranya memperkuat budaya gotong royong, memperkuat rasa nasionalisme, dan mengaktifkan peran orang tua serta lembaga Pendidikan. Hal ini menjadi salah satu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal dan mencegah warga menjadi pelaku tindakan kriminal. Masyarakat tetap menjaga kelangsungan nilai norma melalui pendidikan multikultural seperti sekolah, kegiatan pengajian, serta organisasi yang ada di lingkungan masyarakat. 

Gambar 4.40. Gotong Royong Masyarakat Pindahkan Rumah Panggung 


Sumber: tirto.id/antarafoto/Abriawan Abhe (2016)


MITIGASI DAN ADAPTASI KEBENCANAAN B#1

 II. Pengertian dan Langkah Mitigasi Bencana 


Ancaman bencana di negara kita sangat tinggi dan beragam. Kegiatan untuk mengurangi risiko bencana berdampak pada sedikitnya kerugian yang ditimbulkan. Hal ini pernah terjadi di desa-desa adat Lombok ketika terjadi gempa bumi tahun 2018. Desa adat sudah memiliki sistem mitigasi khusus, sehingga dampak kerugiannya lebih sedikit dibandingkan daerah perkotaan. 



Mitigasi bencana merupakan serangkaian kegiatan (upaya, strategi, kebijakan, dan kegiatan lainnya) untuk mengurangi risiko bencana. Proses mitigasi dapat dilakukan dengan kegiatan penyuluhan, pembangunan fisik (sarana dan prasarana), dan peningkatan kemampuan (kapasitas) masyarakat menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi bencana mencakup berbagai bidang, khususnya ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik. 



Tujuan mitigasi bencana terdiri dari beberapa hal. Pertama, dampak kerugian dapat dikurangi, seperti kerugian nyawa, kerusakan lingkungan, hingga korban jiwa. Kedua, pengetahuan tentang kondisi sebelum bencana, saat, dan pasca bencana dapat meningkat sehingga masyarakat dapat bekerja dan hidup dengan aman. Ketiga, perancangan dan penyusunan kegiatan mitigasi bencana dapat dijadikan acuan untuk menyusun kebijakan pembangunan wilayah. 



Mitigasi bencana dibagi menjadi mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural dilakukan melalui upaya pembangunan fisik maupun pembangunan prasarana masyarakat dalam hal pengurangan risiko bencana. Pembangunan juga dapat melalui pengembangan teknologi (Wulan, 2016). Mitigasi non struktural dilakukan dalam upaya penyadaran masyarakat atau memberikan pendidikan dalam mengurangi risiko bencana. 


Selain klasifikasi bentuk mitigasi diatas, mitigasi bencana dibagi menjadi lima berdasarkan kearifan lokal. Bentuk mitigasi tersebut yaitu dimensi pengetahuan, nilai, mekanisme pengambilan keputusan, solidaritas kelompok, dan mekanik (Wahyuningtyas et al., 2019). Namun kelima bentuk mitigasi tersebut juga dapat dikategorikan dalam dua bentuk mitigasi utama. Kategori tersebut meliputi mitigasi non struktural meliputi dimensi pengetahuan, nilai, mekanisme pengambilan keputusan, dan solidaritas kelompok. Sedangkan mitigasi struktural dapat dilihat berdasarkan dimensi mekanik. 



A. Mitigasi untuk Jenis-Jenis Bencana 



Setiap bencana memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Berbagai wilayah di negara kita memiliki sistem mitigasi tertentu berdasarkan jenis bencananya. Contoh: tanggul yang dibangun pada daerah lereng gunung berapi untuk tempat pengaliran lava, penanaman mangrove di sepanjang pantai untuk mengantisipasi bencana tsunami, dll. Kegiatan mitigasi dilakukan sesuai dengan bencana masing-masing.



1. Mitigasi Tsunami 



Kegiatan mitigasi bencana tsunami dilakukan untuk dapat meminimalisir risiko/dampak bencana tsunami. Kegiatan mitigasi bencana tsunami sebagai berikut: 

a. penanaman mangrove (bakau) di sepanjang pantai untuk menghambat gelombang tsunami, 

b. pembekalan pengetahuan terkait data gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Data ini seperti gempa dengan pusat getaran di laut dangkal (0-30 km) hingga laut tengah, kekuatan paling rendah 6,5 SR, dan pola sesar yang turun atau naik, 

c. terdapat sistem peringatan dini tsunami dalam skala regional dan internasional, 

d. pengadaan pemantauan berkala, 

e. sistem pendeteksi tsunami dirancang dua bagian. Pertama jaringan komunikasi dan infrastruktur untuk menyampaikan informasi adanya bahaya tsunami sebagai peringatan dini. Kedua, jaringan sensor pendeteksi tsunami akan terjadi. 


Gambar 4.23. Penanaman Mangrove (Bakau). 


Sumber: dlh.semarangkota.go.id/ thelovecode.wordpress.com (2020)  



2. Mitigasi Gunung Berapi 



Kegiatan mitigasi bencana letusan gunung berapi dilakukan untuk meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana letusan gunung berapi sebagai berikut: a. pembangunan tanggul untuk menahan lahar agar tidak masuk ke wilayah pemukiman, 

b. pengadaan pemantauan berkala, 

c. pengiriman data pemantauan ke Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di Bandung dengan radio komunikasi SSB, 

d. kegiatan tanggap darurat. Tindakan yang dilakukan ketika terjadi peningkatan aktivitas gunung api yaitu melakukan pemeriksaan berkala dan terpadu, mengevaluasi laporan dan data aktivitas vulkanik, mengirimkan tim lokasi, dan membentuk tim tanggap darurat, 

e. pemetaan, peta kawasan rawan bencana gunung berapi dapat menjelaskan jenis dan sifat bahaya, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, pengungsian, dan pos penanggulangan bencana gunung berapi, 

f. penyelidikan gunung berapi menggunakan metode geologi, geofisika, dan geokimia, dan 

g. sosialisasi, yang dilakukan pada pemerintah daerah dan masyarakat. 

Gambar 4.24. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Semeru 


Sumber: kompaspedia.kompas.id/Peta KRB Gunung Semeru. Kementerian ESDM (2014) 



3. Mitigasi Gempa Bumi 



Kegiatan mitigasi bencana gempa bumi dilakukan untuk meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana gempa bumi sebagai berikut: 

a. identifikasi sumber bahaya dan ancaman bencana, 

b. mendirikan bangunan sesuai aturan baku (tahan gempa), 

c. memahami lokasi bangunan tempat tinggal dan menempatkan perabotan pada tempat yang proporsional, 

d. menyiapkan peralatan seperti senter, P3K, makanan instan, dll, 

e. memeriksa penggunaan listrik dan gas, 

f. mencatat nomor telepon penting dalam penanganan kebencanaan gempa bumi, 

g. memahami jalur evakuasi dan mengikuti kegiatan simulasi mitigasi bencana gempa, dan

h. pemantauan penggunaan teknologi yang dilakukan secara tiba-tiba. 


Gambar 4.25. Rumah Anti Gempa di Indonesia BNPB 


Sumber: eljohnnews.com/hendra (2021) 



Untuk menambah wawasan kalian tentang Kegiatan Mitigasi Bencana Gempa Bumi, silahkan klik tautan disini



4. Mitigasi Tanah Longsor 



Kegiatan mitigasi bencana tanah longsor dilakukan untuk meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana tanah longsor sebagai berikut: 

a. menghindari daerah rawan bencana longsor untuk membangun permukiman, 

b. mengurangi tingkat keterjalan lereng, 

c. membuat terasering dengan sistem drainase yang tepat, 

d. melakukan penghijauan dengan tanaman berakar dalam, 

e. mendirikan bangunan berpondasi kuat, 

f. penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air cepat masuk, dan 

g. melakukan relokasi permukiman, gedung, fasilitas umum, atau lainnya di daerah yang berpotensi terjadi tanah longsor (dalam beberapa kasus). 


Gambar 4.26. Terasering di Bali 


Sumber: flickr.com/pixawe (2010) 



5. Mitigasi Banjir 



Kegiatan mitigasi bencana banjir dilakukan untuk dapat meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana banjir sebagai berikut: 

a. pembangunan waduk untuk mencegah terjadinya banjir, 

b. pembangunan tanggul untuk menghindari banjir, 

c. penataan daerah aliran sungai, 

d. penghijauan (reboisasi) daerah hulu, tengah, dan hilir sungai, 

e. pembangunan sistem peringatan dan pemantauan, 

f. sepanjang bantaran sungai tidak dijadikan lahan pembangunan, dan 

g. pembersihan sampah dan pengerukan endapan sungai dilakukan secara berkala. 



Gambar 4.27. Pembangunan Bendungan 


Sumber: pu.go.id/2020 



6. Mitigasi Kekeringan 



Kegiatan mitigasi bencana kekeringan dilakukan untuk dapat meminimalisir risiko/dampak bencana. Kegiatan mitigasi bencana kekeringan sebagai berikut: 

a. pembangunan waduk untuk mencegah terjadinya defisit air di musim kemarau, 

b. reboisasi hutan untuk mencegah terjadinya kekeringan, 

c. penghijauan di area permukiman warga maupun di jalan besar, 

d. pemantauan penggunaan teknologi, 

e. membangun atau melakukan rehabilitasi terhadap jaringan irigasi, 

f. memelihara dan melakukan rehabilitasi terhadap konservasi lahan maupun air, dan 

g. melakukan sosialisasi untuk penghematan air. 


Gambar 4.28. Menanam Pohon di Hutan Adat Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi, Jawa Barat 


Sumber: forestdigest.com/Dok. PSKL (2021


Belajar Geografi ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO