Minggu, 30 Oktober 2011

Teori Terbentuknya Tata Surya

Teori-teori tentang proses terbentuknya tata surya dapat dikelompokan menjadi beberapa teori, yaitu sebagai berikut.


a. Teori Nebula (Kant dan Laplace)

Teori Nebula pertama kali dikemukakan seorang filsuf Jerman bernama Imanuel Kant. Menurutnya, tata surya berasal dari nebula yaitu gas atau kabut tipis yang sangat luas dan bersuhu tinggi yang berputar sangat lambat. Perputaran yang lambat itu menyebabkan terbentuknya konsentrasi materi yang mempunyai berat jenis tinggi yang disebut inti massa di beberapa tempat yang berbeda. Inti massa yang terbesar terbentuk di tengah, sedangkan yang kecil terbentuk di sekitarnya Karena terjadi proses pendinginan, inti-inti massa yang lebih kecil berubah menjadi planet-planet, sedangkan yang paling besar masih tetap dalam keadaan pijar dan bersuhu tinggi yang disebut matahari.

Teori nebula lainnya dikemukakan oleh Pierre Simon Laplace. Menurut Laplace, tata surya berasal dari bola gas yang bersuhu tinggi dan berputar sangat cepat. Karena perputaran yang sangat cepat, sehingga terlepaslah bagian-bagian dari bola gas tersebut dalam ukuran dan jangka waktu yang berbeda-beda. Bagian-bagian yang terlepas itu berputar dan akhirnya mendingin membentuk planet-planet, sedangkan bola gas asal dinamakan matahari.



Gambar 3.2 Pembentukan tata surya menurut teori nebula 
(Sumber: Moh. Ma'mur Tanudidjaja, halaman 98)


b. Teori Planetesimal (Moulton dan Chamberlain)

Moulton dan Chamberlain, berpendapat bahwa tata surya berasal dari adanya bahan-bahan padat kecil yang disebut planetesimal yang mengelilingi inti yang berwujud gas bersuhu tinggi. Gabungan bahan-bahan padat kecil itu kemudian membentuk planet-planet, sedangkan inti massa yang bersifat gas dan bersuhu tinggi membentuk matahari.



Gambar 3.3 Pembentukan tata surya menurut teori planetesimal 
(Sumber: Moh. Ma'mur Tanudidjaja, halaman 99)


c. Teori Pasang Surut (Jeans dan Jeffreys)

Astronom Jeans dan Jeffreys, mengemukakan pendapat bahwa tata surya pada awalnya hanya matahari saja tanpa mempunyai anggota. Planet-planet dan anggota lainnya terbentuk karena adanya bagian dari matahari yang tertarik dan terlepas oleh pengaruh gravitasi bintang yang melintas ke dekat matahari. Bagian yang terlepas itu berbentuk seperti cerutu panjang (bagian tengah besar dan kedua ujungnya mengecil) yang terus berputar mengelilingi matahari, sehingga lama kelamaan mendingin membentuk bulatan-bulatan yang disebut planet.



Gambar 3.4 Pembentukan tata surya menurut teori pasang surut 
(Sumber: Moh. Ma'mur Tanudidjaja, halaman 100)


d. Teori Bintang Kembar (Lyttleton)

Teori bintang kembar dikemukakan astronom Inggris bernama Lyttleton. Teori ini menyatakan bahwa pada awalnya matahari merupakan bintang kembar yang satu dengan lainnya saling mengelilingi, pada suatu masa melintas bintang lainnya dan menabrak salah satu bintang kembar itu dan menghancurkannya menjadi bagian-bagian kecil yang terus berputar dan mendingin menjadi planet-planet yang mengelilingi bintang yang tidak hancur, yaitu matahari.



Gambar 3.5 Pembentukan tata surya menurut teori bintang kembar 
(Sumber: Moh. Ma'mur Tanudidjaja, halaman 98)


e. Teori Awan Debu (Weizsaecker dan Kuiper)

Weizsaecker dan Kuiper, berpendapat bahwa tata surya berasal dari awan yang sangat luas yang terdiri atas debu dan gas (hidrogen dan helium). Ketidakteraturan dalam awan tersebut menyebabkan terjadinya penyusutan karena gaya tarik menarik dan gerakan berputar yang sangat cepat dan teratur, sehingga terbentuklah piringan seperti cakram. Inti cakram yang menggelembung menjadi matahari, sedangkan bagian pinggirnya berubah menjadi planet-planet.

Ahli astronomi lainnya yang mengemukakan teori awan debu antara lain, F.L Whippel dari Amerika Serikat dan Hannes Alven dari Swedia. Menurutnya, tata surya berawal dari matahari yang berputar dengan cepat dengan piringan gas di sekelingnya yang kemudian membentuk planet-planet yang beredar mengelilingi matahari.

Sumber :
Geografi Memahami Geografi Kelas X  karangan Bagja Waluya.

Selasa, 27 September 2011

NATA DE COCO VERSI CHANDRA



Nata de coco adalah hidangan penutup yang terlihat seperti jeli, berwarna putih hingga bening dan bertekstur kenyal. Makanan ini dihasilkan dari fermentasi air kelapa, dan mulanya dibuat di Filipina.
"Nata de coco" dalam bahasa Spanyol berarti "krim kelapa". Krim yang dimaksudkan adalah santan kelapa. Penamaan nata de coco dalam bahasa Spanyol karena Filipina pernah menjadi koloni Spanyol.

PROSES PEMBUATAN

Peralatan yang diperlukan:
1. Kompor.
2. Panci untuk merebus media/ air kelapa.
3. Gelas ukur besar 1liter dan 250 mili liter.
4. Pengaduk.
5. Pisau pengiris nata.
6. Plastik kemasan 1/2 kg.
7. Saringan air kelapa/ ayakan tepung.
8. Nampan/ wadah untuk fermentasi.
9. Kain putih/mori untuk penutup 3 m.
10. Tali pengikat/karet.
11. Ember/baskom perendam/pencuci.
12. Timbangan kue.
13. Sealing cup ukuran akua gelas

Bahan yang diperlukan:
1. Air kelapa
2. Gula pasir
3. Asam cuka (asam asetat 25%)/asam cuka dapur 400 mili liter.
4. Urea
5. Sirup rasa dan warna
6. Kap gelas (ukuran aqua gelas)

Cara pembuatan
  1. Saring air kelapa dengan menggunakan kain saring lalu didihkan dan dinginkan.
  2. Campurkan gula pasir (100 g/l air kelapa), asam cuka 20 ml/l air kelapa dan bibit Acetobacter xylinum (170 ml) ke dalam air kelapa di dalam panci pencampur, lalu diaduk sampai merata. Campuran tersebut mempunyai keasaman (pH) 3-4.
  3. Masukkan campuran tersebut ke alam stoples dengan tinggi campuran 4-5 cm, lalu ditutup dengan kain aring. Letakkan stoples di tempat yang bersih dan aman.
  4. Setelah 15-20 hari berlangsungnya proses fermentasi terbentuklah lapisan nata di permukaan cairan dengan ketebalan 1-2 cm. Lapisan nata dengan berat + 200 g. Cairan dibawah nata merupakan cairan bibit yang dapat digunakan untuk pembuatan nata selanjutnya.
PROSES PEMANENAN
  1. Lapisan nata diangkat secara hati-hati dengan menggunakan garpu atau penjepit yang bersih supaya cairan di bawah lapisan tidak tercemar. Cairan di bawah nata dapat digunakan sebagai cairan bibit pada pengolahan berikutnya.
  2. Buang selaput yang menempel pada bagian bawah nata, dicuci lalu dipotong dalam bentuk kubus dengan ukuran 1,5 x 1,5 x 1,5 cm dan dicuci. Tuang dan rendam potongan nata de coco dalam ember plastik selama 3 hari dan setiap hari air rendaman diganti. Sesudah itu, nata direbus sampai mendidih bersuhu 110oC selama 10-20 menit. Tujuan perendaman dan perebusan untuk meng-hilangkan rasa asam.
  3. Nata dimasukkan dalam sirup lalau didihkan pada suhu 100C + 15 menit, sesudah itu bila perlu dapat ditambahkan essens panili atau pewangi lainnya dan garam secukupnya, lalu dibiarkan selama 1 malam. Buat sirup nata dengan perbandingan untuk 3 kg produk nata potongan, diperlukan 2 kg gula dan 4,5 l air. Mula-mula gula dituangkan ke dalam air, panaskan sampai larut dan lalu saring.
  4. Selanjutnya nata dikemas dalam kantong plastik atau botol selai dengan perbandingan antara padatan dan cairan 3:1, botol ditutup rapat, kemudian direbus dalam air mendidih selama 30 menit. Angkat dan dinginkan di udara dengan tutup terletak pada bagian bawah, slanjutnya botol diberi label dan siap untuk dipasarkan.
 
Pembuatan bibit nata

  1. Buah nenas dikupas, dicuci sehingga dihasilkan daging nenas. Daging nenas dipotong kecil-kecil, dihancurkan, dan diambil ampasnya.
  2. Ampas nenas dicampur dengan gula pasir dan air masak dengan perbandingan 6:1:3 sampai merata.
  3. Masukkan campuran tersebut dalam stoples bersih dan tutup dalam kain saring. Diamkan selama 2-3 minggu.
  4. Biarkan tanpa diganggu selama 2-3 minggu hingga terbentuk lapisan putih atau bibit Acetobacter xylinum.

Cara Pembuatan Tempe ( aLa Qte-Qte)




Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe".

Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif.
Cara Pembuatan tempe ala Qte-Qte adalah sebagai berikut :

Alat dan Bahan:
  • 1 kg kacang kedelai
  • 2 gram ragi tempe
  • Air asam
  • Wadah ( baskom, panci, plastik, dan baki)
  • Sendok + Alat yang Mudah digunakan untuk mengaduk
  • Lilin 
Cara Pembuatan:
  1. Bersihkan kacang kedelai dari kotoran, lalu cuci  
  2. Kemudian rebus kacang kedelai selama 30 menit. selama kacang kedelai direbus,akan muncul buih putih, sekali-kali kacang kedelai di aduk-aduk agar kematangannya rata           
  3. Setelah direbus, kacang kedelai diangkat kemudian dibersihkan dengan air      
  4. Setelah bersih kacang kedelai direndam dengan air asam yang dicampur dengan air bersih selama 24 jam
  5. pengupasan kulit ari kedelai
  6. Setelah direndam, kemudian kacang kedelai dibersihkan kembali sampai kulit arinya terlepas, lalu tiriskan .   
  7. kemudian di kukus selama 30 menit ( hal ini di lakukan untuk pencegahan masuknya bakteri yang tidak diinginkan), lalu angkat dan tiriskan kembali
  8. Tambahkan 2 gram ragi tempe kedalam kacang tersebut,lalu aduk hingga rata
  9. Setelah diaduk rata, kemudian dibungkus dengan plastik yang telah dilubangi kira-kira 8 lubang setiap sisi atas dan bawahnya dengan menggunakan pisau dengan ketebalan hingga 2-3cm lalu press  
  10. Simpan tempe pada suhu kurang lebih 35-40 derajat celcius, alas yang dipakai adalah baki yang memiliki celah sehingga ada sirkulasi udaranya.  
  11. Fermentasikan selama 36 jam, selama difermentasikan kira-kira 24 jam , ganti bungkus plastik dengan daun ( pisang atau jati) agar sirkulasi udara lebih efesien
  12. Setelah 36 jam tempe siap untuk di olah atau dimasak.

Khasiat dan Kandungan Gizi

Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain.

Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur.

Dibandingkan dengan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis.

Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung perut).

Mutu gizi tempe yang tinggi memungkinkan penambahan tempe untuk meningkatkan mutu serealia dan umbi-umbian. Hidangan makanan sehari-hari yang terdiri dari nasi, jagung, atau tiwul akan meningkat mutu gizinya bila ditambah tempe.

Sumber : http://id.wikipedia.org
    Ariyanto
     
    Nama kelompok:
    • Aryanto
    • Abdul Rojak
    • Ardiansyah Apendi
    • M. ardiansyah
    • Yusep Jalaludin

    MEMBUAT VCO

    Proses Pembuatan Virgin coconut Oil (VCO) dengan bantuan Fermentasi
      

    A. Pendahuluan

    Minyak kelapa murni (VCO) merupakan : minyak kelapa yang masih perawan, yang belum rusak karena belum tersentuh oleh panas, bahan kimia, bahan ragi fermentasi, atau diberikan bahan kimiawi lainnya seperti untuk perasa dan pengawet. Minyak kelapa yang diproses dari kelapa segar tanpa pemanasan dan tidak melalui pemurnian dengan bahan kimia,  dengan minyak kelapa yang diolah secara tradisional, VCO memiliki keunggulan, yaitu kadar air dan asam lemak bebas rendah, tidak berwarna (bening), beraroma harum, dan daya simpan lebih lama. Dalam perkembangannya VCO telah dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi, kosmetik, dan pangan. Minyak kelapa dengan kualitas tinggi karena tidak mengandung kolesterol, kadar air, dan asam lemak bebas air. Cara pembuatan VCO, ada yang disebut dengan metode secara Enzimatis, Fermentasi, Pengasaman, Sentrifugasi pancingan.

    B. Proses Pembuatan :

    1. Bahan

    Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan VCO secara tradisional yaitu daging buah kelapa. Sementara bahan tambahan pada proses pembuatan VCO secara tradisional tidak diperlukan. Kualitas bahan (kelapa) yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas VCO yang dihasilkan, di samping juga dipengaruhi oleh proses produksi. Kecuali itu, kualitas bahan yang digunakan juga berpengaruh terhadap rendemen VCO yang dihasilkan. Semakin baik mutu kelapa yang digunakan, kualitas VCO yang dihasilkan juga akan semakin baik, di samping juga rendemennya semakin tinggi, demikian sebaliknya. Adapun ciri-ciri kelapa yang baik untuk digunakan sebagai bahan pembuatan VCO seperti berikut ini :
    1. Berasal dari varietas kelapa dalam atau kelapa hibrida lokal. Rendemen yang diperoleh dari varietas ini akan lebih banyak dibandingkan dengan kelapa hibrida.
    2. Telah berumur 11-13 bulan. Umur kelapa yang akan digunakan untuk membuat VCO, tidak boleh terlalu muda atau kelewat tua. Apabila terlalu muda, kandungan minyaknya masih sangat rendah sehingga rendemen yang dihasilkan akan sedikit. Sebaliknya, bila kelapa yang digunakan sudah terlalu tua, banyak kandungan minyak yang sudah diubah menjadi karbohidrat. Dengan demikian, rendemen yang dihasilkan pun akan sedikit.
    3. Berat kelapa berkisar 130 g/butir. Sebaiknya, ukuran kelapa dipilih yang seragam agar memudahkan dalam penanganan.
    4. Kulit sabut kelapa sudah berwarna cokelat. Hal ini menandakan bahwa kelapa tersebut sudah cukup tua.
    5. Apabila dikoclak, bunyinya akan terdengar nyaring. Tentu saja hal ini sangat berhubungan dengan jumlah air yang terdapat di dalamnya. Apabila koclak, menandakan bahwa jumlah air yang berada di dalam kelapa telah berkurang. Berkurangnya jumlah air ini berhubungan dengan dekomposisi kandungan gizi kelapa. Banyak kandungan zat-zat gizi dari air kelapa yang dipindahkan ke dalam daging buahnya. Dengan demikian kandungan zat gizi yang terdapat di dalam daging buah akan bertambah banyak, terutama kandungan minyak atau lemaknya.
    6. Kelapa belum berkecambah. Apabila sudah berkecambah, kelapa tersebut sudah terlalu tua sehingga kandungan gizinya banyak yang sudah berubah.
    7. Apabila dibelah, daging buah berwarna putih dengan ketebalan berkisar 10-15 mm. Pada pangkal kelapa, sudah terdapat benjolan kecil berwarna kekuningan, disebut gandos. Apabila gandos tersebut sudah besar, sebaiknya tidak digunakan karena kandungan minyak dalam daging buah sudah banyak berkurang.


    2. Peralatan

    Peralatan yang dibutuhkan dalam proses pembuatan VCO secara tradisional sebagai berikut.
    1. Slumbat, alat ini digunakan untuk mengupas kelapa dari sabutnya. Alat ini sering digunakan oleh petani, terutama di pedesaan. Namun, bila ada mesin untuk mengupas sabut kelapa juga bisa digunakan agar pekerjaan mengupas kelapa menjadi lebih cepat. Di samping itu, bila anggaran sangat terbatas, parang juga bisa digunakan untuk mengupas kelapa. Namun, pengupasan kelapa dengan alat ini sangat lama.
    2. Golok atau parang, alat ini digunakan untuk memecah tempurung kelapa sehingga air kelapa bisa mengalir keluar. Sebaiknya, golok atau parang yang digunakan dipilih yang berbahan besi atau baja. Tujuannya tentu saja agar proses pemecahan tempurung bisa berjalan dengan baik, di samping juga agar basil yang diperoleh terkesan rapi.
    3. Ember digunakan untuk menampung air kelapa. Sebaiknya bahan ember berupa karet agar tidak mudah pecah saat diangkat atau dipindahkan bila telah terisi penuh. Ember yang digunakan tidak harus bagus, tetapi kebersihan harus tetap dijaga.
    4. Penyukil digunakan untuk memisahkan daging buah kelapa dari tempurung yang menempel. Sebaiknya, penyukil terbuat dari besi agar tidak mudah berkarat. Hal yang terpenting yaitu bahwa mata pisau penyukil hams tajam agar mudah masuk ke dalam sela-sela daging buah dan tempurung. Selain itu, gagang (pegangan) penyukil juga harus nyaman sehingga memudahkan dalam penyukilan daging kelapa.
    5. Mesin pemarut digunakan untuk memarut daging buah kelapa. Apabila tidak memungkinkan untuk mengadakan mesin pemarut, sementara bisa menggunakan parutan yang terbuat dari kayu dan dipasang mata pisau untuk memarutnya. Hal yang terpenting dari pemarut yaitu mata pisaunya, yaitu hams tajam dan tidak mudah berkarat. Bila periu, lakukan pengolesan minyak setelah dipakai, tentu saja sebelumnya harus dibersihkan dari sisa ampas yang masih menempel. Mata pisau ini juga erat kaitannya dengan tingkat kehalusan ampas kelapa yang diperoleh. Semakin halus butiran ampas kelapa tersebut, akan menghasilkan santan kelapa yang lebih banyak, demikian sebaliknya.
    6. Kain saring santan digunakan untuk menyaring ampas kelapa saat memeras. Dengan demikian, ampas kelapa tidak terikut bersama dengan santan. Kain saring yang dipilih bisa berupa kain kaos sehingga air santan mudah keluar saat dilakukan pemerasan, sedangkan ampas kelapa tetap tertinggal di dalam kain tersebut.
    7. Stoples digunakan untuk mengendapkan santan kelapa sampai terbentuk dua lapisan, yaitu krim (kepala santan/kanil) dan skim. Skim berisi protein yang terlarut dalam air. Stoples yang digunakan sebaiknya berwarna terang (transparan) sehingga kedua lapisan tersebut dapat dengan mudah bisa dilihat. Sementara bahan stoples bisa terbuat dari plastik agar ringan (tidak berat).
    8. Selang digunakan untuk membuang skim santan. Bahan selang bisa terbuat dari karet agar mudah ditekuk dan tidak lengket bila tidak digunakan. Kran pun bisa digunakan untuk menggantikan fungsi selang. Kran air yang digunakan bisa berukuran 3/4 inci dan dipasang di dasar stoples.
    9. Wajan digunakan untuk memasak kepala santan hingga terbentuk minyak. Sebaiknya, bahan wajan terbuat dari email sehingga tidak mudah gosong saat proses pemasakan dilakukan. Ukuran wajan disesuaikan dengan kapasitas produksi yang sedang dijalankan.
    10. Pengaduk digunakan untuk mengaduk santan saat pemasakan dilakukan. Pengaduk bisa bempa susuk atau centong. Hal yang perlu diperhatikan, centong harus berukuran panjang agar tangan tidak merasa panas saat mengaduk santan. Di samping itu, bahan centong juga tidak berupa bahan yang mudah menghantarkan panas, misalnya besi. Kalau terbuat dari besi, bisa disambung dengan kayu agar tidak menghantarkan panas. Bahan centong juga hams tahan panas sehingga tidak mudah meleleh.
    11. Kompor digunakan sebagai sumber pemanas dalam proses pemasakan santan menjadi minyak kelapa. Kompor yang digunakan bisa berbahan bakar minyak tanah atau gas. Dengan kedua kompos ini, besar-kecilnya api bisa dengan mudah diatur. Tungku juga bisa digunakan sebagai alat pemanas dengan kayu bakar sebagai bahan bakarnya. Namun, umumnya api yang dihasilkan tidak bisa diatur dengan mudah sehingga penyebaran panas tidak bisa merata. Selain itu, api yang cukup besar juga bisa membuat gosong pada wajan dan minyak kelapa yang dihasilkan.
    12. Kain saring digunakan untuk menyaring minyak kelapa yang mungkin masih bercampur dengan blondo. Untuk menghasilkan minyak kelapa murni berkualitas bagus, penyaringan juga bisa dilakukan dengan kertas saring.
    13. Kertas saring digunakan untuk menyaring VCO dari kotoran yang masih bisa lobos oleh penyaringan menggunakan kain. Kertas saring yang digunakan untuk menyaring VCO yang dibuat secara tradisional hanya terdiri dari satu macam, yaitu ukuran 10 mikron.


    3. Cara Pembuatan

    Tahap pembuatan VCO secara tradisional dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pembuatan santan kelapa, pembuatan VCO, serta penyaringan.

    Pembuatan santan kelapa:

    Adapun tahap-tahap pembuatan santan kelapa secara tradisional sebagai berikut.
    1. Kupas sabut kelapa dengan slumbat sampai sabut tersebut terpisah dari daging buah kelapa yang masih terbungkus oleh tempurung kelapa. Selain slumbat, parang atau mesin pengupas kelapa juga bisa digunakan, tergantung skala usaha yang kita inginkan, dan tentu saja juga disesuaikan dengan anggaran yang kita miliki. Pada proses ini diperoleh sabut kelapa sebagai hasil sampingnya. Sabut kelapa masih bisa diolah menjadi berbagai kerajinan tangan dan media tanam
    2. Belah kelapa yang masih terselubungi oleh tempurung kelapa menggunakan golok. Pada proses ini, sekaligus juga bertujuan untuk membuang air kelapa. Seperti pada sabut, air kelapa juga masih bisa digunakan untuk membuat kecap, asam, dan nata de coco.
    3. Congkel daging buah kelapa yang masih melekat pada tempurung menggunakan pisau penyukil. Pada proses ini juga akan menghasilkan tempurung sebagai hasil sampingnya. Tempurung kelapa masih bisa dimanfaaatkan untuk pembuatan arang dan asap cair.
    4. Cuci daging buah kelapa yang sudah terkumpul di dalam ember. Pencucian sebaiknya menggunakan air mengalir agar lebih cepat bersih, di samping juga lebih bersifat higienis.
    5. Haluskan ukuran daging buah kelapa menggunakan pemarut. Apabila memungkinkan, bisa menggunakan mesin pemarut agar proses pemarutan bisa berjalan dengan cepat. Usahakan ukuran partikel parutan sekecil mungkin agar santan yang diperoleh lebih banyak.
    6. Campurkan air ke dalam hasil parutan dengan perbandingan 10 : 6. Artinya, dari hasil parutan 10 butir kelapa ditambahkan 6 liter air. Apabila jumlah air yang ditambahkan terlalu sedikit, kemungkinan masih ada sisa minyak yang tertinggal di dalam ampas kelapa. Namun, bila penambahannya terlalu banyak, hanya akan menyulitkan saat membuang air karena jumlah air dibandingkan minyak dalam santan jauh lebih banyak.
    7. Remas-remas santan menggunakan tangan. Tujuannya yaitu untuk mengeluarkan seluruh kandungan gizi, terutama minyak yang terdapat dalam butiran daging buah kelapa yang sudah halus. Semakin lama peremasan tentu saja akan menghasilkan minyak dalam santan yang lebih banyak. Sebaiknya peremasan dihentikan manakala air bilasan air sudah tidak berwarna putih (agak bening). Hal ini menandakan bahwa kandungan santan sudah berkurang.
    8. Saring santan menggunakan kain saring. Tujuannya untuk memisahkan antara santan dengan ampasnya. Peras ampas yang masih terdapat di dalam kain saring agar sisa santan yang masih terdapat di dalam ampas bisa keluar semuanya.
    Pembuatan VCO

    Adapun tahap pembuatan VCO dengan cara tradisional sebagai berikut:
    1. Endapkan santan pada ember transparan selama satu jam hingga terbentuk krim santan (kanil/kepala santan) dan skim santan. Krim santan berada di bagian atas karena mengandung minyak dalam jumlah banyak. Seperti yang kita tahu, bahwa berat jenis minyak lebih ringan dibandingkan berat jenis air. Sementara skim santan berada di bawah karena umumnya terdiri dari air dan protein. Ambil air (bagian bawah) dengan selang hingga tingggal tersisa krim bagian atasnya.
    2. Ambil krim santan dan masak di atas kompor dengan suhu sekitar 100-110° C menggunakan wajan. Panaskan hingga mendidih. Aduk-aduk santan selama proses pemasakan agar panas yang diterima oleh santan bisa merata.
    3. Matikan api kompor bila sudah terbentuk minyak dan blondo. Lama waktu yang dibutuhkan sampai terbentuk minyak berkisar 3-4 jam. Umumnya, minyak tersebut tidak berwarna bening, tetapi sedikit kekuningan. Sementara blondo berwarna kecokelatan. Blondo ini masih bisa dimanfaatkan sebagi bahan pangan, misalnya untuk pembuatan kue. Saring blondo dari minyak menggunakan serok. Upayakan penyaringan berjalan dengan sempurna agar tidak ada lagi sisa blondo yang terdapat di dalam minyak.
    Penyaringan

    Penyaringan dilakukan untuk memisahkan minyak dari ikutan-ikutan, berupa blondo dan kotoran lainnya. Penyaringan di sini tidak bertujuan untuk menjernihkan warna VCO. Penyaringan dilakukan dengan kain dan kertas saring. Adapun cara penyaringan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.
    1. Pasang kain pada corong yang telah dihubungkan dengan botol kaca. Sedikit demi sedikit, tuang VCO ke dalamnya. Sebaiknya penyaringan dilakukan dengan hati-hati karena ditakutkan tumpah.
    2. Saring hasil saringan pertama dengan kertas saring. Adapun cara penyaringannya sama dengan penyaring dengan kain.
    C. Manfaat VCO
          
    homeremediesforlife.com
    Umunya bermanfaat bagi kesehatan dan keelokan tubuh. Penyakit kanker, aids, jantung, diabetes, dan obesitas dapat diatasi dengan menkonsumsi minyak kelapa murni. Sehubungan dengan manfaat yang sangat banyak, minyak kelapa murni dapat digunakan dalam industry farmasi, kosmetika, susu formula, dan minyak goreng berkualitas tinggi. Sementara ini di Indonesia, minyak kelapa murni telah dimanfaatkan dalam pembuatan sampo, deterjen, minyak gosok, minyak telon dll.
    Yuni
    Nama kelompok :
    1. Eti Kurniati
    2. Hesti Wahyuni
    3. Siti Hasanah
    4. Siti Qurrota A’yuni

    Membuat Tape Ketan


    A. LANDASAN TEORI

    Proses pembuatan tape melibatkan proses fermentasi yang dilakukan oleh jamur Saccharomyces cerivisiae. Jamur ini memiliki kemampuan dalam mengubah karbohidrat (fruktosa dan glukosa) menjadi alkohol dan karbondioksida. Selain Saccharomyces cerivisiae, dalam proses pembuatan tape ini terlibat pula mikrorganisme lainnya, yaitu Mucor chlamidosporus dan Endomycopsis fibuligera. Kedua mikroorganisme ini turut membantu dalam mengubah pati menjadi gula sederhana (glukosa).


    B. ALAT DAN BAHAN

    1. Pengukus nasi (langseng) 1 buah
    2. Panci atau baskom 1 buah
    3. Tampah 1 buah
    4. Cukil kayu 1 buah
    5. Kipas 1 buah
    6. Keler/daun pisang/plastik
    7. Beras ketan hitam atau ketan putih
    8. Ragi tape

    C. PROSEDUR KERJA

    1. Cuci bersih semua peraltan yang akan digunakan, lalu keringkan
    2. Cuci bersih beras ketan yang akan digunakan
    3. Rendamlah beras ketan tersebut selama 12 jam
    4. Setelah direndam selama 12 jam, angkat beras ketan tersebut lalu bilas dengan air beberapa kali
    5. Kukus beras ketan tersebut sampai matang
    6. Angkat beras ketan yang telah matang, lalu letakkan di atas tampah atau baskom, dinginkan dengan cara mengipasinya
    7. Setelah dingin campurkan ragi yang telah dihaluskan dan aduk sampai merata
    8. Bungkus ketan yang tela dicampur ragi dengan daun pisang atau plastik, atau masukkan ke dalam keler (stoples)
    9. Simpan selama 2-3 hari


    catatan:
    1. Banyaknya ragi yang digunakan disesuaikan dengan jumlah beras ketan. Bila terlalu banyak    akan mempercepat   proses fermentasi dan menyebabkan rasa tape menjadi pengar, bila terlalu sedikit dapat menyebabkan tape yang terbentuk tidak manis dan terasa keras
    2. Takaran ragi yang tepat biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman
    3. Kualitas tape yang baik turut ditentukan oleh jenis ragi yang digunakan dan asal ragi tersebut
    Hafiz P

    Anggota kel :
    • Hafiz Paikar
    • Ameliana A
    • Siti Nita komala
    • Siti Syamsiah
     Tambahan :



    Selasa, 20 September 2011

    MENENTUKAN LOKASI INDUSTRI


    Lokasi suatu industri berada, selain memperlihatkan karakteristik dari kegiatan industrinya juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan industri tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan lokasi suatu industri. Karena itu, pengambilan keputusan dalam merencanakan lokasi industri harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang matang dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemilihan lokasi yang strategis merupakan kerangka kerja yang presfektif bagi pengembangan suatu kegiatan yang bersifat komersil.
    Artinya, lokasi tersebut harus memiliki atau memberikan pilihan-pilihan yang menguntungkan dari sejumlah akses yang ada. Semakin strategis suatu lokasi industri, berarti akan semakin besar peluang keuntungan yang akan diperoleh. Dengan demikian, tujuan penentuan lokasi industri yaitu untuk memperbesar keuntungan dengan menekan biaya produksi dan meraih pangsa pasar yang lebih luas.

    1. Faktor-faktor penentuan lokasi industri

    Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan lokasi industri, di antaranya sebagai berikut.

    a. Bahan mentah


    Bahan mentah merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dalam kegiatan industri, sehingga keberadaannya harus selalu tersedia dalam jumlah yang besar demi kelancaran dan keberlanjutan proses produksi. Apabila bahan mentah yang dibutuhkan industri, cadangannya cukup besar dan banyak ditemukan maka akan mempermudah dan memperbanyak pilihan atau alternatif penempatan lokasi industri. Apabila bahan mentah yang dibutuhkan industri cadangannya terbatas dan hanya ditemukan di tempat tertentu saja maka akan menyebabkan biaya operasional semakin tinggi dan pilihan untuk penempatan lokasi industri semakin terbatas.

    b. Modal

    Modal yang digunakan dalam peoses produksi merupakan hal yang sangat penting. Hal ini kaitannya dengan jumlah produk yang akan dihasilkan, pengadaan bahan mentah, tenaga kerja yang dibutuhkan, teknologi yang akan digunakan, dan luasnya sistem pemasaran. Dengan demikian, suatu industri yang memiliki modal besar memiliki alternatif yang banyak dalam menentukan lokasi industrinya. Sebaliknya, bagi industri yang bermodal sedikit atau kecil maka kurang memiliki banyak pilihan dalam menentukan lokasinya.

    c. Tenaga kerja

    Tenaga kerja merupakan tulang punggung dalam menjaga kelancaran proses produksi, baik jumlah maupun keahliannya. Adakalanya suatu industri membutuhkan tenaga kerja yang banyak, walaupun kurang berpendidikan.
    Tetapi, ada pula industri yang hanya membutuhkan tenaga-tenaga kerja yang berpendidikan dan terampil. Dengan demikian, penempatan lokasi industri berdasarkan tenaga kerja sangat tergantung pada jenis dan karakteristik kegiatan industrinya.

    d. Sumber energi

    Kegiatan industri sangat membutuhkan energi untuk menggerakkan mesin- mesin produksi, misalnya: kayu bakar, batubara, listrik, minyak bumi, gas alam, dan tenaga atom/nuklir. Suatu industri yang banyak membutuhkan energi, umumnya mendekati tempat-tempat yang menjadi sumber energi tersebut.

    e. Transportasi

    Kegiatan industri harus ditunjang oleh kemudahan sarana transportasi dan perhubungan. Hal ini untuk melancarkan pasokan bahan baku dan menjamin distribusi pemasaran produk yang dihasilkan. Sarana transportasi yang dapat48 digunakan untuk kegiatan industri di antaranya transportasi darat (keretaapi dan kendaraan roda empat atau lebih), transportasi laut (kapal laut), dan transportasi udara (kapal terbang).

    f. Pasar

    Pasar sebagai komponen yang sangat penting dalam mempertimbangkan lokasi industri, sebab pasar sebagai sarana untuk memasarkan atau menjual produk yang dihasilkan. Lokasi suatu industri diusahakan sedekat mungkin menjangkau konsumen, agar hasil produksi mudah dipasarkan.

    g. Teknologi yang digunakan

    Penggunaan teknologi yang kurang tepat dapat menghambat jalannya suatu kegiatan industri. Penggunaan teknologi yang disarankan untuk pengembangan industri pada masa mendatang adalah industri yang: memiliki tingkat pencemaran (air, udara, dan kebisingan) yang rendah, hemat air, hemat bahan baku, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Bahkan pasar internasional sudah mensyaratkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan sumberdaya sebagai salah satu syarat agar produknya dapat diterima di pasaran internasional melalui ISO 9000 dan ISO 14000.

    h. Perangkat hukum
    Perangkat hukum dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan sangat penting demi menjamin kepastian berusaha dan kelangsungan industri, antara lain tata ruang, fungsi wilayah, upah minimum regional (UMR), perizinan, sistem perpajakan, dan keamanan. Termasuk jaminan keamanan dan hukum penggunaan bahan baku, proses produksi, dan pemasaran. Peraturan dan perundang-undangan harus menjadi pegangan dalam melaksanakan kegiatan industri karena menyangkut modal yang digunakan, kesejahteraan tenaga kerja, dan dampak negatif (limbah) yang ditimbulkan.

    i. Kondisi lingkungan

    Faktor lingkungan yang dimaksud ialah segala sesuatu yang ada di sekitarnya yang dapat menunjang kelancaran produksi. Suatu lokasi industri yang kurang mendukung, seperti keamanan dan ketertiban, jarak ke pemukiman, struktur batuan yang tidak stabil, iklim yang kurang cocok, terbatasnya sumber air, dan lain-lain, hal ini dapat menghambat keberlangsungan kegiatan industri.
    Namun, semua faktor yang mempengaruhi lokasi industri tersebut, tentunya tidak seluruhnya dapat diakomodasi. Terkadang suatu lokasi industri mendekati tempat beradanya sumber bahan baku, tetapi jauh dari daerah pemasaran, atau sebaliknya. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk menentukan lokasi industri yang ideal, sehingga lahirlah beberapa teori lokasi dari para ahli yang didasarkan pada faktor-faktor produksi paling dominan dari suatu kegiatan industri. Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk melihat dan memperhitungkan pola lokasional kegiatan ekonomi termasuk industri dengan cara yang konsisten dan logis, dan untuk melihat serta memperhitungkan bagaimana antarwilayah kegiatan ekonomi itu saling berhubungan (interrelated).

    2. Teori lokasi

    Pertimbangan utama dalam menentukan alternatif lokasi industri yaitu ditekankan pada biaya transportasi yang rendah. Beberapa teori yang banyak digunakan dalam menentukan lokasi industri, adalah sebagai berikut: 
    1. Theory of industrial location (teori lokasi industri) dari Alfred Weber.
    2. Theory of optimal industrial location (teori lokasi industri optimal) dari Losch.
    3. Theory of weight loss and transport cost (teori susut dan ongkos transport).
    4. Model of gravitation and interaction (model gravitasi dan interaksi) dari Issac Newton dan Ullman.
    5. Theory of cental place (teori tempat yang sentral) dari Walter Christaller.
    Pada prinsipnya beberapa teori lokasi tersebut untuk memberikan masukan bagi penentuan lokasi optimum, yaitu lokasi yang terbaik dan menguntungkan secara ekonomi. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai beberapa teori lokasi.

    a. Theory of industrial location (teori lokasi industri) dari Alfred Weber

    Teori ini dimaksudkan untuk menentukan suatu lokasi industri dengan mempertimbangkan risiko biaya atau ongkos yang paling minimum, dengan asumsi sebagai berikut:
    1. Wilayah yang akan dijadikan lokasi industri memiliki: topografi, iklim dan penduduknya relatif homogen.
    2. Sumber daya atau bahan mentah yang dibutuhkan cukup memadai.
    3. Upah tenaga kerja didasarkan pada ketentuan tertentu, seperti Upah Minimum Regional (UMR).
    4. Hanya ada satu jenis alat transportasi.
    5. Biaya angkut ditentukan berdasarkan beban dan jarak angkut.
    6. Terdapat persaingan antarkegiatan industri.
    7. Manusia yang ada di daerah tersebut masih berpikir rasional.
    Persyaratan tersebut jika dipenuhi maka teori lokasi industri dari Alfred Weber dapat digunakan. Weber menggunakan tiga faktor (variabel penentu) dalam analisis teorinya, yaitu titik material, titik konsumsi, dan titik tenaga kerja. Ketiga titik (faktor) ini diukur dengan ekuivalensi ongkos transport.
    Berdasarkan asumsi tersebut di atas, penggunaan teori Weber tampak seperti pada gambar berikut ini.

    Segitiga Weber dalam menentukan lokasi industri
    (Sumber: Ilmu Pengetahuan Populer, 2000)
    Keterangan:
    M = pasar P   =   lokasi biaya terendah.
    R1, R2 = bahan baku
    (a) : apabila biaya angkut hanya didasarkan pada jarak.
    (b) : apabila biaya angkut bahan baku lebih mahal dari pada hasil industri.
    (c) : apabila biaya angkut bahan baku lebih murah dari pada hasil industri.

    b. Teori lokasi industri optimal (Theory of optimal industrial location) dari Losch

    Teori ini didasarkan pada permintaan (demand), sehingga dalam teori ini diasumsikan bahwa lokasi optimal dari suatu pabrik atau industri yaitu apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas, sehingga dapat dihasilkan pendapatan paling besar.

    Untuk membangun teori ini, Losch juga berasumsi bahwa pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen, jika disuplai oleh pusat (industri) volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh dari pusat industri semakin berkurang volume penjualan barang karena harganya semakin tinggi, akibat dari naiknya ongkos transportasi. Berdasarkan teori ini, setiap tahun pabrik akan mencari lokasi yang dapat menguasai wilayah pasar seluas-luasnya.

    Di samping itu, teori ini tidak menghendaki wilayah pasarannya akan terjadi tumpang tindih dengan wilayah pemasaran milik pabrik lain yang menghasilkan  barang yang sama, sebab dapat mengurangi pendapatannya. Karena itu, pendirian pabrik-pabrik dilakukan secara merata dan saling bersambungan sehingga berbentuk heksagonal.

    c. Teori susut dan ongkos transport (theory of weight loss and transport cost)

    Teori ini didasarkan pada hubungan antara faktor susut dalam proses pengangkutan dan ongkos transport yang harus dikeluarkan, yaitu dengan cara mengkaji kemungkinan penempatan industri di tempat yang paling menguntungkan secara ekonomi. Suatu lokasi dinyatakan menguntungkan apabila memiliki nilai susut dalam proses pengangkutan yang paling rendah dan biaya transport yang paling murah. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa:
    1. Makin besar angka rasio susut akibat pengolahan maka makin besar kemungkinan untuk penempatan industri di daerah sumber bahan mentah (bahan baku), dengan catatan faktor yang lainnya sama.
    2. Makin besar perbedaan ongkos transport antara bahan mentah dan barang jadi maka makin besar kemungkinan untuk menempatkan industri di daerah pemasaran.

    d. Model gravitasi dan interaksi (model of gravitation and interaction) dari I. Newton dan Ullman

    Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa tiap massa mempunyai gaya tarik (gravitasi) untuk berinteraksi di tiap titik yang ada di region yang saling melengkapi (regional complementarity), kemudian memiliki kesempatan berintervensi (intervening opportunity), dan kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang (spatial transfer ability).
    Teori interaksi ialah teori mengenai kekuatan hubungan-hubungan ekonomi (economic connection) antara dua tempat yang dikaitkan dengan jumlah penduduk dan jarak antara tempat-tempat tersebut. Makin besar jumlah penduduk pada kedua tempat maka akan makin besar interaksi ekonominya.
    Sebaliknya, makin jauh jarak kedua tempat maka interaksi yang terjadi semakin kecil. Untuk menggunakan teori ini perhatikan rumus berikut.
    Keterangan: I = gaya tarik menarik diantara kedua region.
    d = jarak di antara kedua region.
    P = jumlah penduduk masing-masing region.

    e. Teori tempat yang sentral (theory of cental place) dari Walter Christaller

    Teori ini didasarkan pada konsep range (jangkauan) dan threshold (ambang).
    Range (jangkauan) adalah jarak tempuh yang diperlukan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan masyarakat, sedangkan threshold (ambang) adalah jumlah minimal anggota masyarakat yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan suplai barang.
    Menurut teori ini, tempat yang sentral secara hierarki dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
    1. Tempat sentral yang berhierarki 3 (K = 3), merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang bagi daerah sekitarnya, atau disebut juga kasus pasar optimal.
    2. Tempat sentral yang berhierarki 4 (K = 4), merupakan situasi lalu lintas yang optimum. Artinya, daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien.
    3. Tempat sentral yang berhierarki 7 (K = 7), merupakan situasi administratif yang optimum. Artinya, tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya.
    Teori Christaller akan lebih tepat jika digunakan untuk daerah dataran rendah, sebab tiap lokasi memiliki peluang yang sama untuk berkembang.

    Contohnya pada sebuah daerah pedataran luas yang dihuni oleh penduduk secara merata. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, tentu memerlukan berbagai barang dan jasa seperti: pakan (makan dan minum), papan (rumah dan perabotannya), sandang (pakaian dan asesorisnya), pendidikan, dan kesehatan. Lokasi yang menyediakan barang dan jasa tersebut, hanya ada pada tempat tertentu saja, sehingga ada jarak antara tempat tinggal dengan lokasi penyedia barang dan jasa. Jarak tempuh dari tempat tinggal menuju pusat penyediaan barang atau jasa disebut range.

    Persaingan dalam penyediaan barang dan jasa tidak akan cukup dengan mengkamulkan pada kualitas barang atau jasa layanan yang terbaik, melainkan lokasi yang dapat dan mudah dijangkau oleh konsumen (masyarakat) harus menjadi perhatian.

    Untuk menerapkan teori ini, diperlukan beberapa syarat di antaranya sebagai berikut: 1) Topografi atau keadaan bentuk permukaan bumi dari suatu wilayah relatif seragam sehingga tidak ada bagian yang mendapat pengaruh lereng atau pengaruh alam lain dalam hubungannya dengan jalur angkutan.53 2) Kehidupan atau tingkat ekonomi penduduk relatif homogen dan tidak memungkinkan  adanya produksi primer yang menghasilkan padi-padian, kayu, dan batubara.

    3. Kecenderungan lokasi industri

    Penentuan lokasi industri sebagaimana telah diuraikan sebelumnya memiliki beberapa alternatif atau kecenderungan yang didasarkan pada orientasi faktor- faktor produksi yang tersebar di berbagai lokasi. Faktor-faktor produksi dalam kegiatan industri, di antaranya dipengaruhi oleh: bahan baku, sumber energi, tenaga kerja, modal, transportasi, dan pasar. Kecenderungan lokasi industri berdasarkan jenis industri dapat dikelompokkan sebagai berikut.

    a. Industri yang cenderung ditempatkan di lokasi bahan baku


    Industri yang cenderung ditempatkan di lokasi bahan baku adalah industri yang membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang cukup besar,  bahan baku yang digunakan tidak rusak/utuh, dan bahan baku yang diolah banyak mengalami penyusutan sehingga meringankan biaya pengangkutan.
    Pertimbangan yang digunakan untuk menempatkan industri yang berorientasi pada bahan baku, di antaranya adalah:
    1. Industri yang mengolah bahan baku yang cepat rusak atau busuk, misalnya: industri daging, industri ikan, industri bunga, dan industri susu.
    2. Industri yang mengolah bahan baku dalam jumlah besar atau barang curahan (bulk goods) dan biaya angkutannya cukup mahal, misalnya: industri kayu dan industri pengolahan minyak bumi. Industri kelompok ini memiliki perbandingan kehilangan berat (weight loss) mencapai 75% atau lebih.
    3. Memiliki ketersedian bahan mentah yang cukup besar.
    4. Biaya pengangkutan bahan mentah lebih mahal daripada biaya pengangkutan barang jadi.
    5. Volume produksi lebih kecil dari bahan mentah karena adanya penyusutan.

    b. Industri yang cenderung ditempatkan di daerah pemasaran

    Industri yang cenderung ditempatkan di daerah pemasaran adalah industri yang biasanya tidak mengalami kesulitan dalam penggunaan bahan baku atau mudah diperoleh di daerah sekitarnya. Misalnya: industri perakitan, industri makanan, dan industri konveksi.
    Pertimbangan yang digunakan untuk menempatkan industri yang berorientasi pada daerah pemasaran, di antaranya adalah:
    1. Jika dalam pembuatan barang industri, perbandingan kehilangan (susut) berat mencapai nol persen, biaya angkut untuk barang jadi lebih mahal dari pada biaya angkut untuk barang mentah. Misalnya: industri roti karena setelah diolah beratnya tidak berbeda dengan bahan mentahnya.
    2. Jika bahan mentah/baku mudah diperoleh. Misalnya: industri air mineral, karena air bersih dianggap mudah diperoleh.
    3. Jika barang yang dihasilkan memerlukan ongkos tinggi karena ukurannya relatif lebih besar. Misalnya: industri peti dan industri mebel.
    4. Jika barang yang dihasilkan selalu mengalami perubahan yang cepat karena kaitannya dengan model dan mode yang sedang berkembang. Misalnya industri konveksi.
    5. Jika biaya angkut barang jadi lebih mahal dari pada biaya angkut bahan mentah/baku.
    6. Jika produksi yang dihasilkan mudah rusak dan tidak tahan lama.
    7. Jika barang yang dihasilkan memerlukan pemasaran yang luas.
    8. Jika bahan baku yang digunakan tahan lama.

    c. Industri yang cenderung ditempatkan di pusat-pusat konsentrasi penduduk

    Industri yang cenderung ditempatkan di pusat-pusat konsentrasi penduduk, yaitu industri yang memerlukan tenaga kerja yang banyak. Industri ini bersifat padat karya, misalnya: industri elektronika dan garmen. Industri ini biasanya berlokasi di tempat pemusatan tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang murah dan terampil. Adapun industri yang memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang khusus dalam jumlah yang banyak di antaranya industri kain batik dan industri kain bordir.

    d. Industri yang cenderung ditempatkan di lokasi sumber tenaga/energi

    Industri yang cenderung ditempatkan di lokasi sumber tenaga/energi adalah industri yang banyak memerlukan sumber tenaga (listrik, minyak bumi, batubara, gas, dan air). Misalnya: industri peleburan baja/besi, industri pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan industri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

    e. Industri yang cenderung ditempatkan dengan orientasi pada biaya pengangkutan
    Industri yang cenderung ditempatkan dengan orientasi pada biaya pengangkutan adalah industri yang memerlukan sarana atau jaringan transportasi55 yang mudah dan baik, sehingga tidak mengganggu jalur pemasaran. Industri ini biasanya industri yang memerlukan bahan mentah, pengolahan, dan pemasaran pada satu tempat yang sama. Misalnya: industri air kemasan atau air karbonasi.

    f. Industri yang berorientasi pada modal

    Industri yang berorientasi pada modal adalah industri yang biasanya memiliki produksi yang besar dan sangat vital secara ekonomis, dan memiliki pasar yang luas serta strategis untuk menarik modal asing. Misalnya: industri farmasi dan alat-alat kesehatan.

    g. Industri yang berorientasi pada teknologi

    Industri yang berorientasi pada teknologi adalah industri yang membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian khusus dan terdidik, serta telah menerapkan teknologi adaptif. Misalnya: industri pertanian, industri perikanan, industri pariwisata, dan industri perhotelan.

    h. Industri yang berorientasi pada peraturan dan perundang- undangan

    Industri yang berorientasi pada peraturan dan perundang-undangan adalah industri yang memerlukan kemudahan dalam perizinan dan sistem perpajakan.
    Misalnya relokasi industri negara maju ke negara-negara berkembang umumnya sangat memperhatikan orientasi peraturan perizinan dan perpajakan. Jika izin mereka agak dipersulit dan terlalu mahal pajaknya, maka negara maju tersebut tidak akan mendirikan industri di negara berkembang.

    i. Industri yang berorientasi pada lingkungan

    Industri yang berorientasi pada lingkungan adalah industri yang tidak merusak lingkungan, dengan cara menggunakan teknologi atau proses industri yang ramah lingkungan. Cirinya hemat bahan baku dan sumber energi, serta tidak mencemari lingkungan, tetapi memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

    Sumber :
    BAGJA Waluya. 2009. Memahami Geografi 3 SMA/MA : Untuk Kelas XII, Semester 1 dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.


    KLASIFIKASI INDUSTRI


    Istilah industri sering diidentikkan dengan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dari definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing). Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial.
    Karena merupakan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut. Cara penggolongan atau pengklasifikasian industri pun berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang digunakan. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga turut menentukan keanekaragaman industri negara tersebut, semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beranekaragam jenis industrinya.

    Adapun klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing, adalah sebagai berikut.

    1. Klasifikasi industri berdasarkan bahan baku 
    Tiap-tiap industri membutuhkan bahan baku yang berbeda, tergantung pada apa yang akan dihasilkan dari proses industri tersebut. Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam. Misalnya: industri hasil pertanian, industri hasil perikanan, dan industri hasil kehutanan.
    2. Industri nonekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih lanjut hasil- hasil industri lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri pemintalan, dan industri kain.
    3. Industri fasilitatif atau disebut juga industri tertier. Kegiatan industrinya adalah dengan menjual jasa layanan untuk keperluan orang lain. Misalnya: perbankan, perdagangan, angkutan, dan pariwisata.
    2. Klasifikasi industri berdasarkan tenaga kerja
    Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Ciri industri ini memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengelola industri biasanya kepala rumah tangga itu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri anyaman, industri kerajinan, industri tempe/ tahu, dan industri makanan ringan.
    2. Industri kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang, Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya: industri genteng, industri batubata, dan industri pengolahan rotan.
    3. Industri sedang, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki kemapuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir, dan industri keramik.
    4. Industri besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemapuan dan kelayakan (fit and profer test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besi baja, dan industri pesawat terbang.
    3. Klasifikasi industri berdasarkan produksi yang dihasilkan 

    Berdasarkan produksi yang dihasilkan, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri primer, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda yang tidak perlu pengolahan lebih lanjut. Barang atau benda yang dihasilkan tersebut dapat dinikmati atau digunakan secara langsung. Misalnya: industri anyaman, industri konveksi, industri makanan dan minuman.
    2. Industri sekunder, yaitu industri yang menghasilkan barang atau benda yang membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum dinikmati atau digunakan. Misalnya: industri pemintalan benang, industri ban, industri baja, dan industri tekstil.
    3. Industri tertier, yaitu industri yang hasilnya tidak berupa barang atau benda yang dapat dinikmati atau digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung, melainkan berupa jasa layanan yang dapat mempermudah atau membantu kebutuhan masyarakat. Misalnya: industri angkutan, industri perbankan, industri perdagangan, dan industri pariwisata.
    4. Klasifikasi industri berdasarkan bahan mentah 

    Berdasarkan bahan mentah yang digunakan, industri dapat dibedakan Menjadi : 
    1. Industri pertanian, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang diperoleh dari hasil kegiatan pertanian. Misalnya: industri minyak goreng, Industri gula, industri kopi, industri teh, dan industri makanan.
    2. Industri pertambangan, yaitu industri yang mengolah bahan mentah yang berasal dari hasil pertambangan. Misalnya: industri semen, industri baja, industri BBM (bahan bakar minyak bumi), dan industri serat sintetis.
    3. Industri jasa, yaitu industri yang mengolah jasa layanan yang dapat mempermudah dan meringankan beban masyarakat tetapi menguntungkan.Misalnya: industri perbankan, industri perdagangan, industri pariwisata, industri transportasi, industri seni dan hiburan.
    5. Klasifikasi industri berdasarkan lokasi unit usaha 

    Keberadaan suatu industri sangat menentukan sasaran atau tujuan kegiatan industri. Berdasarkan pada lokasi unit usahanya, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri berorientasi pada pasar (market oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah persebaran konsumen.
    2. Industri berorientasi pada tenaga kerja (employment oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah pemusatan penduduk, terutama daerah yang memiliki banyak angkatan kerja tetapi kurang pendidikannya.
    3. Industri berorientasi pada pengolahan (supply oriented industry), yaitu industri yang didirikan dekat atau ditempat pengolahan. Misalnya: industri semen di Palimanan Cirebon (dekat dengan batu gamping), industri pupuk di Palembang (dekat dengan sumber pospat dan amoniak), dan industri BBM di Balongan Indramayu (dekat dengan kilang minyak).
    4. Industri berorientasi pada bahan baku, yaitu industri yang didirikan di tempat tersedianya bahan baku. Misalnya: industri konveksi berdekatan dengan industri tekstil, industri pengalengan ikan berdekatan dengan pelabuhan laut, dan industri gula berdekatan lahan tebu.
    5. Industri yang tidak terikat oleh persyaratan yang lain (footloose industry), yaitu industri yang didirikan tidak terikat oleh syarat-syarat di atas. Industri ini dapat didirikan di mana saja, karena bahan baku, tenaga kerja, dan pasarnya sangat luas serta dapat ditemukan di mana saja. Misalnya: industri elektronik, industri otomotif, dan industri transportasi.
    6. Klasifikasi industri berdasarkan proses produksi 

    Berdasarkan proses produksi, industri dapat dibedakan menjadi:
    1. Industri hulu, yaitu industri yang hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri ini sifatnya hanya menyediakan bahan baku untuk kegiatan industri yang lain. Misalnya: industri kayu lapis, industri alumunium, industri pemintalan, dan industri baja.
    2. Industri hilir, yaitu industri yang mengolah barang setengah jadi menjadi barang jadi sehingga barang yang dihasilkan dapat langsung dipakai atau dinikmati oleh konsumen. Misalnya: industri pesawat terbang, industri konveksi, industri otomotif, dan industri meubeler.
    7. Klasifikasi industri berdasarkan barang yang dihasilkan 

    Berdasarkan barang yang dihasilkan, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri berat, yaitu industri yang menghasilkan mesin-mesin atau alat produksi lainnya. Misalnya: industri alat-alat berat, industri mesin, dan industri percetakan.
    2. Industri ringan, yaitu industri yang menghasilkan barang siap pakai untuk dikonsumsi. Misalnya: industri obat-obatan, industri makanan, dan industri minuman.

    8. Klasifikasi industri berdasarkan modal yang digunakan 

    Berdasarkan modal yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN), yaitu industri yang memperoleh dukungan modal dari pemerintah atau pengusaha nasional (dalam negeri). Misalnya: industri kerajinan, industri pariwisata, dan industri makanan dan minuman.
    2. Industri dengan penanaman modal asing (PMA), yaitu industri yang modalnya berasal dari penanaman modal asing. Misalnya: industri komunikasi, industri perminyakan, dan industri pertambangan.
    3. Industri dengan modal patungan (join venture), yaitu industri yang modalnya berasal dari hasil kerja sama antara PMDN dan PMA. Misalnya: industri otomotif, industri transportasi, dan industri kertas.
    9. Klasifikasi industri berdasarkan subjek pengelola 

    Berdasarkan subjek pengelolanya, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri rakyat, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik rakyat, misalnya: industri meubeler, industri makanan ringan, dan industri kerajinan.
    2. Industri negara, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik negara yang dikenal dengan istilah BUMN, misalnya: industri kertas, industri44 pupuk, industri baja, industri pertambangan, industri perminyakan, dan industri transportasi.
    10. Klasifikasi industri berdasarkan cara pengorganisasian 

    Cara pengorganisasian suatu industri dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: modal, tenaga kerja, produk yang dihasilkan, dan pemasarannya.
    Berdasarkan cara pengorganisasianya, industri dapat dibedakan menjadi: 
    1. Industri kecil, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif kecil, teknologi sederhana, pekerjanya kurang dari 10 orang biasanya dari kalangan keluarga, produknya masih sederhana, dan lokasi pemasarannya masih terbatas (berskala lokal). Misalnya: industri kerajinan dan industri makanan ringan.
    2. Industri menengah, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif besar, teknologi cukup maju tetapi masih terbatas, pekerja antara 10- 200 orang, tenaga kerja tidak tetap, dan lokasi pemasarannya relatif lebih luas (berskala regional). Misalnya: industri bordir, industri sepatu, dan industri mainan anak-anak.
    3. Industri besar, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal sangat besar, teknologi canggih dan modern, organisasi teratur, tenaga kerja dalam jumlah banyak dan terampil, pemasarannya berskala nasional atau internasional. Misalnya: industri barang-barang elektronik, industri otomotif, industri transportasi, dan industri persenjataan.
    11. Klasifikasi industri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian 

    Selain pengklasifikasian industri tersebut di atas, ada juga pengklasifikasian industri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 19/M/ I/1986 yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

    Adapun pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut: 

    a. Industri Kimia Dasar (IKD) 

    Industri Kimia Dasar merupakan industri yang memerlukan: modal yang besar, keahlian yang tinggi, dan menerapkan teknologi maju. Adapun industri yang termasuk kelompok IKD adalah sebagai berikut: 
    1. Industri kimia organik, misalnya: industri bahan peledak dan industri bahan kimia tekstil.
    2. Industri kimia anorganik, misalnya: industri semen, industri asam sulfat, dan industri kaca.
    3. Industri agrokimia, misalnya: industri pupuk kimia dan industri pestisida.
    4. Industri selulosa dan karet, misalnya: industri kertas, industri pulp, dan industri ban.
    b. Industri Mesin Logam Dasar dan Elektronika (IMELDE) 

    Industri ini merupakan industri yang mengolah bahan mentah logam menjadi mesin-mesin berat atau rekayasa mesin dan perakitan. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut: 
    1. Industri mesin dan perakitan alat-alat pertanian, misalnya: mesin traktor, mesin hueler, dan mesin pompa.
    2. Industri alat-alat berat/konstruksi, misalnya: mesin pemecah batu, buldozer, excavator, dan motor grader.
    3. Industri mesin perkakas, misalnya: mesin bubut, mesin bor, mesin gergaji, dan mesin pres.
    4. Industri elektronika, misalnya: radio, televisi, dan komputer.
    5. Industri mesin listrik, misalnya: transformator tenaga dan generator.
    6. Industri keretaapi, misalnya: lokomotif dan gerbong.
    7. Industri kendaraan bermotor (otomotif), misalnya: mobil, motor, dan suku cadang kendaraan bermotor.
    8. Industri pesawat, misalnya: pesawat terbang dan helikopter.
    9. Industri logam dan produk dasar, misalnya: industri besi baja, industri alumunium, dan industri tembaga.
    10. Industri perkapalan, misalnya: pembuatan kapal dan reparasi kapal.
    11. Industri mesin dan peralatan pabrik, misalnya: mesin produksi, peralatan pabrik, the blower, dan kontruksi.
    c. Aneka Industri (AI) 

    Industri ini merupakan industri yang tujuannya menghasilkan bermacam- macam barang kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun yang termasuk industri ini adalah sebagai berikut: 
    1. Industri tekstil, misalnya: benang, kain, dan pakaian jadi.
    2. Industri alat listrik dan logam, misalnya: kipas angin, lemari es, dan mesin jahit, televisi, dan radio.
    3. Industri kimia, misalnya: sabun, pasta gigi, sampho, tinta, plastik, obat- obatan, dan pipa.
    4. Industri pangan, misalnya: minyak goreng, terigu, gula, teh, kopi, garam dan makanan kemasan.
    5. Industri bahan bangunan dan umum, misalnya: kayu gergajian, kayu lapis, dan marmer.
    d. Industri Kecil (IK) 

    Industri ini merupakan industri yang bergerak dengan jumlah pekerja sedikit, dan teknologi sederhana. Biasanya dinamakan industri rumah tangga, misalnya: industri kerajinan, industri alat-alat rumah tangga, dan perabotan dari tanah (gerabah).

    e. Industri Pariwisata 

    Industri ini merupakan industri yang menghasilkan nilai ekonomis dari kegiatan wisata. Bentuknya bisa berupa: wisata seni dan budaya (misalnya: pertunjukan seni dan budaya), wisata pendidikan (misalnya: peninggalan, arsitektur, alat-alat observasi alam, dan museum geologi), wisata alam (misalnya: pemandangan alam di pantai, pegunungan, perkebunan, dan kehutanan), dan wisata kota (misalnya: melihat pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, wilayah pertokoan, restoran, hotel, dan tempat hiburan).


    Sumber :
    BAGJA Waluya. 2009. Memahami Geografi 3 SMA/MA : Untuk Kelas XII, Semester 1 dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

    ANALISIS LOKASI INDUSTRI

    A. Lokasi Industri


    Pemilihan lokasi industri memiliki arti yang sangat penting sebab akan mempengaruhi perkembangan dan kontinuitas proses dan kegiatan industry.

    Faktor yang mempengaruhi dan perlu diperhitungkan dalam menentukan pilihan lokasi industri disebut faktor lokasi yang terdiri atas bahan mentah, sumber tenaga, pasar, sarana, pengangkutan, ketersediaan air, dan lainnya. Masalah lokasi timbul karena unsur-unsur yang mempengaruhi faktor lokasi tersebut tidak selalu terdapat pada daerah yang sama dan sering terpencar. Oleh karena itu, berdasarkan orientasi faktor-faktor lokasi yang mempengaruhinya maka ada kecenderungan lokasi industri berada dekat dengan bahan mentah atau berada dekat sumber tenaga atau berada sumber tenaga kerja atau dekat dengan pasar.

    Beberapa industri seperti industri makanan, minuman, industri kulit (sepatu), dan industri pakaian mungkin bisa ditempatkan dimana saja ( foot-lose industry ). Akan tetapi, pada umumnya industri demikian akan memilih daerah pasar sebagai lokasinya. Pada pembahasan kali ini kita akan membahas dua teori yang dapat menjadi acuan dalam menganalisis lokasi industri.

    1. Teori Susut dan Biaya Pengangkutan.

    Teori susut di sini maksudnya adalah pengurangan berat yang terjadi karena proses pengolahan. Misalnya, pada industri minyak kelapa, 100 kg kopra (kelapa kering) hanya bisa menghasilkan 25 kg minyak kelapa. Hal tersebut menunjukkan bahwa setelah melalui proses pengolahan akan mengalami pengurangan berat.

    Secara umum, teori susut dan biaya pengangkutan mengemukakan hubungan-hubungan antara faktor susut dan biaya pengangkutan. Teori ini bermanfaat untuk melihat kecenderungan lokasi industri, artinya dapat mengkaji kemungkinan-kemungkinan penempatan suatu industri (pabrik) di tempat yang paling menguntungkan secara ekonomi.
    Tabel 1.1
    Pada tabel 1.1 dijabarkan empat kasus suatu pabrik yang mengolah bahan mentah (M) yang berasal dari satu daerah sumber bahan mentah (SM), menjadi satu macam barang jadi (B), yang kemudian dijual di suatu daerah pasar (P). Pada contoh, digunakan dua variabel, yaitu susut dan biaya pengangkutan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi jalannya industri dianggap sama dan diabaikan.

    Hasil perhitungan biaya pengangkutan seperti pada contoh diatas menunjukan pada kasus A dan B industri/pabrik cenderung ditempatkan di daerah sumber bahan mentah. Akan tetapi, pada kasus C dan D sebaliknya, pabrik cenderung ditempatkan di daerah sumber bahan mentah.

    Menurut perhitungan, ternyata jumlah biaya pengangkutan yang harus dikeluarkan lebih rendah. Pada kasus D besarnya biaya pengangkutan berbeda dengan kasus A, B, dan C. Coba hitungkan kemungkinannya jika pada kasus D besarnya biaya pengangkutan disamakan dengan kasus A, B, dan C.

    Terdapat dua kesimpulan dalam pemilihan lokasi yang baik (dengan catatan faktor-faktor lainnya sama) menurut teori susut dan biaya pengangkutan. Pertama, makin besar angka rasio susut dalam pengolahan, makin kuat kecenderungan menempatkan pabriknya di daerah bahan mentah. Kedua, makin besar perbedaan biaya pengangkutan antar bahan mentah dan bahan jadi, makin kuat daerah pasar dijadikan sebagai tempat lokasi industri.

    2. Teori Weber


    Weber mengemukakan teorinya dalam bukunya yang terkenal Theory of The Location of Industries (1909). Teori Weber dimulai dengan beberapa premis sebagai berikut.
    1. Unit analisis tunggal, merupakan daerah yang terisolasi yang homogen baik mengenai iklimnya, topografi maupun penduduknya.
    2. Beberapa sumber alam seperti air dan pasir, mudah diperoleh dimana saja, sedangkan sumber alam lain hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja, misalnya batu bara dan bijih besi.
    3. Biaya pengangkutan adalah fungsi dari berat dan jarak, artinya makin bertambah sesuai dengan berat dan jaraknya. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan peran biaya pengangkutan terhadap kemungkinan dan kecenderungan lokasi industri.
    Kasus A: Satu Pasar dan Satu macam Bahan Mentah Jika suatu industri hanya mengolah satu macam bahan mentah dan memasarkannya pada satu daerah pasar maka ada tiga kemungkinan lokasi industrinya.
    1. Jika bahan mentah yang dibutuhkan mudah diperoleh dimana saja maka pabriknya dapat atau cenderung ditempatkan di daerah pasar.
    2. Jika bahan mentah yang diperlukan hanya terdapat di daerah tertentu saja dan mengalami susut dalam pengolahannya maka pabriknya dapat ditempatkan baik didaerah pasar maupun daerah bahan mentah.
    3. Jika bahan mentah hanya terdapat di daerah tertentu saja dan mengalami susut dalam pengolahannya maka industrinya akan ditempatkan di daerah sumber bahan mentah.

    Harus diingat bahwa besarnya biaya pengangkutan berkaitan langsung dengan berat barang yang diangkut.

    Kasus B: Satu Daerah Pasar dan Dua Macam Bahan Mentah Jika industri mengolah dua macam bahan mentah (M1 dan M2), hasilnya hanya dipasarkan di suatu tempat tertentu saja maka industri itu akan ditempatkan di salah satu kemungkinan berikut.
    1. Jika M1 dan M2 mudah diperoleh dimana saja maka industri itu akan ditempatkan di daerah pasar.
    2. Jika M1 mudah diperoleh dimana saja sedangkan R2nya hanya terdapat di suatu daerah tertentu saja duluan daerah pasar dan jika keduanya tidak mengalami susut dalam pengolahan maka industri tersebut akan ditempatkan di daerah pasar. Biaya pengangkutan hanya dikeluarkan untuk R2.
    3. Jika kedua bahan mentah (M1 dan M2) hanya terdapat di daerah- daerah tertentu yang berlainan dan mengalami susut dalam pengolahannya maka pemecahannya agak sulit. Untuk itu, Weber memperkenalkan teori yang disebut location triangle (segitiga lokasi) dengan titik sudutnya adalah daerah pasar (P), dan daerah-daerah sumber bahan mentah (M1 dan M2). Contohnya, suatu industri mengolah R1 dan R2. keduanya mengalami susut 50%. Setiap tahunnya diperlukan masing-masing bahan mentah itu 2.000 ton.


    a. Jika industri itu ditempatkan di P maka biaya pengangkutan yang harus dikeluarkan pertahunnya adalah sebagai berikut.


    R1 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
    R2 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
    Jumlah = 400.000 ton-km

    b. Jika industri itu ditempatkan di M1 maka biaya pengangkutan itu adalah:

    R1 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
    P = 2.000 ton x 100 km = 200.000 ton-km
    Jumlah = 400.000 ton-km
    c. Jika industri itu ditempatkan di titik X maka biaya pengangkutan yang harus dikeluarkan pertahunnya menjadi:

    R1 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
    R2 = 2.000 ton x 100 km= 200.000 ton-km
    P = 2.000 ton x 87 km = 174.000 ton-km
    Jumlah = 374.000 ton-km

    Biaya pengangkutan pada poin C ternyata lebih rendah dibandingkan dengan A dan B. Ini berarti bahwa penempatan atau lokasi industri di X akan lebih menguntungkan jika industri itu ditempatkan di P, M1, atau M2 1. Pengumpulan Data Berikut ini data yang harus dikumpulkan untuk kepentingan analisis lahan pertanian.


    B. Lokasi Pertanian

    Menganalisis suatu lokasi pertanian (Gambar 1.22) tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, secara umum analisis lokasi pertanian dapat disederhanakan ke dalam dua tahapan yaitu proses pengumpulan data dan penentuan kriteria kelas lahan pertanian itu sendiri.

    1. Pengumpulan Data

    Berikut ini data yang harus dikumpulkan untuk kepentingan analisis lahan pertanian.
    1. Iklim dan musim, yaitu curah hujan, suhu udara, angin, dan kelembapan udara.
    2. Topografi, yaitu lereng tunggal (datar, landai, miring, curam, dan terjal) dan lereng majemuk (datar, berombak, bergelombang, berbukit, dan ber- gunung).
    3. Proses geomorfik, yaitu erosi, longsor, banjir, dan pengenangan.
    4. Tanah, yaitu tekstur, struktur, keda- laman tanah yang subur, perakaran, kapasitas dalam menahan air, drainase, permeabilitas, kebatuan, kesuburan, salinitas, erodibilitas, dan kedalaman lapisan padas.
    5. Tata air, yaitu kemampuan dalam menyerap air dan kedalaman muka air.


    2. Kriteria Lahan Pertanian 
    Setelah proses I, yaitu data terkumpul dan dibandingkan satu aspek dengan aspek yang lain, langkah selanjutnya adalah menentukan kriteria kelas lahan pertanian. Berikut ini dijabarkan kelas-kelas lahan bagi pemanfaatan pertanian berdasarkan tabulasi silang data-data yang terkumpul pada poin 1 di atas.

    1. Kelas I.  Tanah pada lahan ini sesuai untuk segala jenis penggunaan tanpa perlu tindakan pengawetan tanah yang khusus, seperti lereng yang datar, bahaya erosi yang kecil, solum dalam, drainase baik, mudah diolah, dapat menahan air dengan baik, responsif terhadap pemupukan, tidak terancam banjir, dan iklim setempat sesuai untuk pertumbuhan tanaman.
    2. Jenis tanah pada lahan kelas ini tidak mempunyai penghambat ataupun accaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan pemeliharaan struktur tanah diperlukan agar lahan dapat mempertahankan kesuburan dan produktivitasnya.
       
    3. Kelas II.  Tanah pada lahan ini sesuai untuk segala jenis kegiatan pertanian dengan sedikit hambatan dan kerusakan. Ciri tanah kelas II ini, yaitu lereng landai, kepekaan erosi sedang atau telah mengalami erosi, bertekstur halus hingga agak kasar, solum agak dalam, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas ringan-sedang, kadang terlanda banjir, drainase sedang, dan iklim agak kurang koheren dengan jenis tanaman tertentu.




    4. Jika digarap untuk jenis tanaman semusim sedikit diperlukan konservasi tanah, seperti pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, guludan, selain tindakan pemupukan seperti pada tanah lahan kelas I.
       
    5. Kelas III.  Tanah pada lahan jenis ini memerlukan konsentrasi yang lebih dalam menangani konservasi tanahnya karena mempunyai ancaman kerusakan yang lebih besar dibanding kelas sebelumnya. Ciri tanah ini, seperti lereng agak miring dan bergelombang, drainase buruk, solum sedang, permeabilitas tanah bawah lambat, peka terhadap erosi, kapasitas menahan air rendah, kesuburan rendah dan tidak mudah diperbaiki, sering kali mengalami banjir, lapisan padas dangkal, salinitas sedang, dan hambatan iklim agak besar.




    6. Kelas IV.  Tanah pada lahan jenis ini mempunyai penghambat yang lebih besar dari kelas sebelumnya, yaitu lereng miring (15-30%) dan berbukit, kepekaan erosi besar, solum dangkal, kapasitas menahan air rendah, sering tergenang, drainase jelek, salinitas tinggi, dan iklim kurang menguntungkan.





    7. Kelas V. Tanah pada jenis lahan ini tidak sesuai untuk jenis tanaman semusim karena lereng datar atau cekung, seringkali terlanda banjir, sering tergenang, berbatu-batu, pada perakaran sering dijumpai catclay, dan berawa-rawa.




    8. Jenis ini lebih cocok untuk hutan produksi atau hutan lindung, padang penggembalaan atau suaka alam.
       
    9. Kelas VII Jenis tanah pada lahan ini tidak sesuai untuk pertanian, penggunaannya terbatas untuk padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam. Pengelolaan lahan perlu dibuat teras bangku, pengolahan lahan sesuai kontur, sedangkan penutupan tanah dengan rumput perlu diusahakan.




    10. Ciri jenis ini, yaitu kecuraman lereng 30 sampai 45%, ancaman erosi berat, jika telah erosi berat ditanggulangi, solum tanah sangat dangkal, berbatu-batu, dan faktor iklim pun tidak mendukung.
       
    11. Kelas VIII. Lahan kelas ini tidak sesuai untuk pertanian dan teknik konservasi lahan ini dengan cara didiamkan dalam keadaan alami. Ancaman kerusakan pada jenis lahan ini meliputi kecuraman lereng mencapai 65%, berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, solum sangat dangkal, sering kali dijumpai singkapan batuan, dan padang pasir.



    Sumber :
    Eko Titis Prasongko. 2009. Geografi 3 : Untuk Siswa Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Kelas XII. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta

      Belajar Geografi ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

      TOPO